Sudah lama sekali impian untuk melanjutkan pendidikan S2 aku tanamkan dalam diri. Namun, masih terus menjadi sebuah wacana tanpa eksekusi segera.
“Duh, jangan deh. Nanti laki-laki makin takut sama kamu.”
“Wah kalau kamu jadi S2, aku nyerah deh bantuin kamu nyari cowok.”
“Nanti aja. Entar laki-laki makin ciut sama kamu. Udah karier bagus, eh kuliah tinggi-tinggi pula.”
Bayang-bayang pendapat seperti itu dari orang sekitar membuatku maju-mundur untuk melanjutkan pendidikan kembali di bangku kuliah. Kadang ingin rasanya mendebat mereka.
“Loh, apa hubungannya ketakutan laki-laki dengan perempuan berpendidikan?”
“Bukannya malah tambah keren kalau laki-laki memilih seorang perempuan yang berpendidikan? Toh, perempuan yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang pintar, bukan?”
Atau kasarnya ingin rasanya menjawab, “Ya, kalau ada laki-laki yang takut dengan perempuan yang berpendidikan tinggi, maaf-maaf saja. Aku nyari pendamping hidup yang pemberani bukan penakut.”
Hhhmmm tapi rasa-rasanya sudah mengeluarkan seluruh energi untuk menjelaskan tetap saja salah. Hingga detik ini aku masih tak mengerti, kenapa perempuan yang punya cita-cita tinggi harus terhalang oleh stigma, “Ah, buat apa kuliah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya nanti bakalan di dapur, ngurus anak, dan suami.” Kenapa pernyataan serupa jarang sekali dilontarkan pada laki-laki?
Sebagai seseorang yang terlahir dari keluarga yang tidak mengenyam pendidikan dengan baik, aku harus berjuang keras untuk mengubah nasib. Ayah dan Ibu tidak punya kesempatan bersekolah tinggi pada masanya. Aku? Tentu punya peluang lain. Meski tidak bisa memilih terlahir dari keluarga yang seperti apa, tapi setidaknya aku punya pilihan untuk menjalankan kehidupan yang ingin aku wujudkan. Apalagi aku berkeyakinan bahwa pendidikan adalah jalan pamungkas untuk memperbaiki nasib.
Aku tergolong telat untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Tamat SMK aku harus rela terlebih dahulu bekerja keras dan menabung untuk bisa kuliah sambil bekerja. Empat tahun berikutnya aku baru bisa melanjutkan pendidikan di universitas. Resmi menjabat gelar dari siswa menjadi mahasiswa. Hari-hari di perguruan tinggi harus aku seimbangkan dengan rutinitas kerja. Kerja sambil kuliah. Itulah yang aku lakoni selama empat tahun dan alhamdulillah lulus tepat waktu. Tertatih-tatih memang kuliah sambil kerja itu. Kalau tidak kerja tidak bisa bayar kuliah. Tapi kalau tidak kuliah ya nasib akan seperti itu-itu saja.
Lalu, perjuanganku setelah tamat kuliah S1 adalah ikhtiar menemukan pendamping hidup. Empat tahun aku lalui dengan gejolak batin yang naik-turun. Berkenalan dengan orang baru, mulai menapaki satu sama lain, kandas, coba lagi, masih tak berhasil dan begitu seterusnya. Ini yang orang-orang tidak tahu. Aku sama sekali bukan tipikal yang suka mengumbar kehidupan pribadi di lini media sosial. Jadi, bisa saja mereka di luaran sana punya persepsi bahwa aku terlalu lengah akan masa depan mencari pendamping hidup. Pada kenyataannya, mereka tidak pernah tahu saja berapa kali aku sering tersungkur menangis di malam hari mendebat Tuhan dan mempertanyakan kehadiran-Nya. Ah.
Di tengah dilema dan kegalauan pendamping hidup, aku memutuskan untuk akhirnya lanjut kuliah S2. Bisa dibilang keputusan itu adalah distraksi agar aku tidak menjadi manusia yang kufur nikmat. Seolah-olah permasalahan hidupku hanya perihal jodoh saja. Padahal sangat banyak sekali nikmat Tuhan lainnya yang membersamaiku. Harusnya aku fokus dan lebih banyak bersyukur dengan karunia yang ada. Bukan malah mengutuki diri dengan hal-hal yang belum aku miliki.
Ternyata melanjutkan pendidikan ke jenjang magister tidaklah semudah yang aku kira. Apalagi jika usiamu (kata mereka) sudah tergolong mapan untuk berkelurga bukannya kuliah lagi. Banyak sekali berisik di sekitar yang mengatakan bahwa seharusnya aku sudah menikah.
Ya, ternyata sangatlah beban ketika umurmu sudah menginjak kepala tiga dan masih belum menikah -seperti kebanyakan perempuan lainnya di luar sana-. Kultur timur yang melekat pada kehidupan di Indonesia, seolah hidup sudah diatur untuk perempuan. Mulai dari masa anak-anak-menginjak remaja-sekolah-kuliah-kerja-menikah-punya anak satu-hamil anak kedua, dst. Dan ketika urutan itu tak sesuai dengan jalan hidup sering sekali banyak sinis yang akan diterima.
“Makanya jangan terlalu milih-milih!”
“Standarnya diturunin!”
“Jangan terlalu mandiri!”
“Coba centil dikit.”
“Apalagi yang dicari? Kerja udah, kuliah juga. Yaudah sama siapa aja yang penting nikah dan ada yang mau.”
Nyes! Kalimat yang terakhir acap kali membuat hati teriris. Apa wanita tak boleh memilih yang terbaik untuk jalan hidupnya? Apa wanita harusnya nurut-nurut saja walau itu bukan kehendak hatinya? Sedih, sih.
Beruntungnya aku. Walau omongan-omongan itu tiada henti kuterima dari hari ke hari, aku masih tetap bisa melewatinya. Memantapkan hati kalau apapun pilihan yang aku ambil adalah pilihan yang terbaik dan siap aku pertanggungjawabkan kelak. Termasuk akhirnya mantap melanjutkan pendidikan magister di umur 30 tahun dengan status single.
Butuh kekuatan ekstra untuk akhirnya mengambil langkah besar ini. Mereka hanya tahu aku terlalu mementingkan karier dan pendidikan. Tapi yang mereka tidak tahu adalah betapa jatuh bangunnya aku sudah mencoba peruntungan juga dalam perihal jodoh. Mencoba kenalan dengan orang baru-tidak lanjut-mulai dari nol lagi. Atau harus melawan diri dengan meyakinkan, kalau dia orangnya. But, still didn't work well. Lalu, di tengah kegalauan pendamping hidup, tidak ada salahnya kan aku mencari kesibukan yang produktif, meningkatkan kualitas serta memantaskan diri untuk pendamping hidup kelak yang diberikan Tuhan di waktu yang tepat?
Aku meyakinkan orang tua dan keluarga, bahwa keputusanku untuk kuliah lagi tidak akan jadi penghalang jodoh. Jika dia yang ditunggu datang, aku tak akan menjadikan kuliah sebagai alasan untuk menjawab nanti. Atau jika memang Tuhan belum juga menghadirkannya, aku akan anggap kalau ini adalah kesempatan yang diberikan untuk aku menuntaskan dulu semua yang menjadi prioritas diri.
Lalu, untuk menghadapi sekitar, aku tidak bisa berbuat banyak. Omongan-omongan berisik yang tiada henti tentu tidak akan bisa aku bungkam. Yang bisa aku kontrol adalah bagaimana aku menanggapinya.
“Jadi kapan, Wilda?”
“Umur udah 30 lebih. Nanti bakalan susah punya anak,”
“Nanti kalau kamu gak nikah-nikah, kasihan tuanya nanti sama siapa?”
Aku rasa pertanyaan-pertanyaan serupa tidak akan ada hentinya. Akan terus dihujam tajam kepada wanita. Entah itu pada perempuan yang baru tamat kuliah tapi belum bekerja, atau kepada perempuan yang sudah bekerja tapi belum menikah. Lalu, pada perempuan yang sudah menikah, tapi belum punya anak. Atau sudah punya anak satu akan dilanjut dengan pertanyaan, “Kapan punya adik?”
Kini, rasanya hanya bisa menarik napas panjang ketika ocehan-ocehan itu menghampiri. Ah, cukup fokus pada diri sendiri. Menjalani kuliah yang sudah menjadi keputusan. Tidak mudah memang, melanjutkan kuliah di umur yang katanya sudah semestinya berkeluarga. Tapi, jalan hidup masing-masing orang tentu berbeda, bukan?
Menjadi perempuan memang berat. Akan selalu gamang mengambil langkah yang dibayang-bayangi ocehan-ocehan orang sekitar. Tapi, sudah seharusnya sebagai sesama wanita kita saling support dan menyemangati satu sama lain. Memeluk dan merangkul apapun yang sudah menjadi pilihan, asal semua masih dalam koridor yang positif. Kita tidak pernah tahu apa yang sudah diperjuangkan oleh seorang perempuan untuk hidupnya. Cukup pahami dan mengerti. Berikan senyum terbaik dan yakinkan kalau semua akan baik-baik saja.
Teruntuk perempuan di luaran sana yang sedang berjuang keras terhadap hidupnya, ambillah langkah yang menurutmu adalah jalan yang terbaik. Jangan ragu. Berisik sekitar, cukup bungkam dengan senyuman dan gemilang yang kamu raih. Prove, it!
*Tulisan ini ditulis pada bulan Juni 2023 untuk sebuah kompetisi menulis