Menggapai Atap Tertinggi Jawa Tengah dengan Air Mata
Februari 18, 2022Pendakian Gunung Slamet via Bambangan
Lautan awan di puncak gunung Slamet |
Tiga puncak gunung yang tampak pada pendakian menjelang subuh |
Mentari siap menyinari bumi |
Rintik hujan dan kabut menyambut kedatangan. Sempat berhenti beberapa kali mencari rumah Mas Tanto. Jaringan handphone-ku putus total. Jangankan buat whatsapp, telepon biasa pun tak bisa. Berkat berhenti beberapa kali dan tanya warga, akhirnya kami sampai juga tepat siang itu di gapura besar bertuliskan “Gerbang Pendakian Gunung Slamet Pos Bambangan Kabupaten Purbalingga”. Rumah Mas Tanto, porter yang sudah aku hubungi tepat berada di sebelah kanan gerbang utama pendakian itu.
Sempat pesimis, apakah pendakian akan terus dilakukan dalam keadaan hujan rintik-tintik, atau ditunda dulu? Ah, beginilah kalau mendaki bersama teman-teman sejati, bisa saja semua rencana berubah total dalam seketika. Namun, kami memutuskan untuk rehat sejenak terlebih dahulu. Meluruskan kaki, bongkar-muat carrier menjadi daypack dan terutama menikmati semangkok mie rebus telor sebelum pendakian benar-benar akan dimulai.
Beban sudah terbagi. Yang berat-berat dibantu bawa oleh Mas Tanto dan temannya. Selebihnya aku dan teman-teman hanya mendaki membawa daypack keperluan pribadi selama trekking. Aku yakin opsi menggunakan jasa porter untuk naik Slamet adalah solusi untuk pendakian kami agar berjalan dengan lancar, gerak yang cepat, dan kesehatan serta keselamatan bagi pendaki-pendaki yang sudah tidak se-strong dulu lagi. Enggan, untuk menyebut sudah tidak muda lagi. Haha.
Dengan keyakinan yang mantap, istirahat yang dirasa sudah cukup terutama untuk Khair yang menjadi single driver, bismillah kami mulai melangkahkan kaki memijak bumi Slamet untuk menggapai atapnya. Sesuai arahan, demi mempersingkat waktu pendakian, kami juga menggunakan jasa ojek yang tersedia mulai dari basecamp hinggal pos bayangan 1. Not bad, 30rb untuk memangkas waktu. Apalagi pendakian yang sudah siang hari kami mulai, tepatnya pukul 14.00 WIB.
Ritual pose sebelum pendakian |
“Mbak, berani,ya?” teriak si bapak yang masih melajukan motornya dengan kencang. “Takut, gak?” lanjutnya setelah melihat Arien dan Eka turun dari motor. Pertanyaannya membuatku makin menikmati keedanan jalur motor yang kami lalui.
“Kalau bapak berani, saya lebih berani lagi. Kalau bapak percaya (kita selamat), saya lebih percaya lagi,” balasku teriak padanya. “Kalau bapak yakin kita bisa, saya lebih yakin lagi.” Jozz sampai akhir gak turun-turun dan berhenti. Gas teruuus.
Dia tertawa mendengar jawabanku. Dengan lihainya dia menggoyangkan motor ke kiri dan ke kanan mencari jalan diantara lumpur yang menghadang. Ketika tanjakan lumpur, dia kembali ngegas motor sekencang mungkin, rengekan suara motor khas makin melengking membuatku menarik napas dan terus percaya, oke wilda everything is gonna be fine. Dalam ketakutan fatal kalau kami bisa saja terjatuh, entah dari mana keberanian itu menyeruak dalam hatiku. Apalagi sih yang perlu elu risaukan, keluhkan dan khawatirkan tentang hidup, wilda? Elu udah termasuk berani hey hingga berada di titik ini. Blaz. Lagi-lagi ada saja yang menjadi cambuk penyemangat bagi diriku. Kalau setelah pendakian Slamet ini elu dapat permasalahan hidup yang kian sulit, ingat, elah menantang maut aja di Slamet elu jabanin. Nikmati! Atur perspektif biar jadi positif.
Naik ojek dari basecamp Slamet menjelang pos 1 aku pikir tadinya tak semengerikan itu. Cukup sekali aku merasakan naik ojek di Sumbing serasa naik roller coaster yang dibawa terbang. Memang sih untuk ojek Slamet penumpang gak duduk di depan, tapi menurutku hampir sama saja. Nyawa serasa dibawa terbang di trek becek, berlumpur karena hujan. Parah. Alhamdulillah semua selamat. Walau ada yang memutuskan untuk turun karena makin ngeri dengan jalur lumpur yang mendominasi. Namun aku? Lanjut teruuus pantang menyerah.
Selamat datang di ojek Slamet |
Lintasan motor yang begitu mengerikan |
Pangkalan ojek setia menunggu pendaki turun |
Setuju kan kalau kita sebaiknya mengumbar yang baik-baik saja di media sosial? Berbagi hal-hal positif dan bermanfaat serta berguna bagi sesama? Kalau aku sih setuju banget. Karena rasanya percuma kalau tiap problematika kehidupan dan drama-drama hidup kita sampai sejagat raya tahu. Toh, belum tentu pada peduli. Belum tentu semua pada mengerti. Karena sesungguhnya hal-hal baik itu secara tidak langsung juga bisa menjadi spirit bagi orang lain. Ketularan. Bukan berarti juga hidup kita selalu baik-baik saja, ya. Yang terlihat di sosial media tentu saja yang bahagia-bahagianya saja. Hasil sortiran dari ribuan foto untuk di upload menjadi konten. Atau ya memang percuma sih mengemis-ngemis iba di media sosial, karena yang punya power untuk bangkit menjalani hidup ya kita sendiri, bukan tanggung jawab orang lain.
Belakangan aku mengikrarkan diri untuk selalu mencoba hanya sharing hal-hal positif saja di media sosial terutama Instagram. Lagi-lagi bukan berarti hidupku selalu baik-baik saja. Tentu yang namanya juga hidup selalu ada up and down. Namun, cukup aku atasi di dunia nyata, bersama circle terdekat dan tentu saja mengadu pada Tuhan. Tapi, terlepas dari itu, alam adalah sesungguhnya tempat bagiku yang tepat untuk menyegarkan diri kembali, berkontemplasi dan recharge semua energi yang sudah banyak terkuras oleh hiruk-pikuk duniawi dan segala pernak-perniknya. Untuk tahun 2021, Slamet menjadi saksi bagaimana gejolak diri kembali meronta, menghayati, dan mensyukuri semua pencapaian yang sudah diraih dan berhasil melalui segala rintangan yang datang menghadang. Pendakian Gunung Slamet adalah pendakian idaman yang sudah aku impikan sejak tahun 2020. Karena pandemi covid-19 masih belum usai, perjalanan pun masih suka sering terhambat dengan berbagai kebijakan pemerintah yang berubah-ubah setiap saatnya. Minimal tahun ini gue naik gunung sekali, deh. Masa gak? Ucapku pada teman ketika rasa rindu ketinggian sudah semakin membuncah di hati. Kesibukan dari awal tahun membuatku harus menahan diri, hingga bulan-bulan terakhir di 2021 menjadi incaranku untuk menuntaskan misi mendaki puncak 3428 mdpl ini.
Menggapai atap tertinggi Jawa Tengah, tidak semudah yang dibayangkan. Sebelum keberangkatan sudah cukup banyak drama yang harus aku lalui. Pandakian ini sejatinya akan dilaksanakan di awal bulan November, tapi cuaca tidak berpihak. Hujan lebat yang dominan sepanjang hari, badai, petir dan ditambah lagi satu musibah kabar duka dari dunia entertainment. Kecelakaan mobil satu keluarga artis. Jleb. Keraguan datang. Pertimbangan ini-itu dan sesungguhnya ketakutan akan kematian juga membayangi pikiran. Alhasil, reschedule!
Jalur pendakian yang licin karena hujan |
Memasuki semak belukar hutan gunung Slamet |
Ada yang berbeda pada pendakian kala itu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah pendakian gunungku aku memutuskan untuk melakukan pendakian dengan bantuan porter. Aku ingin muncak santai tanpa beban berat di pundak. Okeh, selain itu karena sudah setahun lebih tidak naik gunung aku rasa staminaku tidak sekuat dulu lagi. Setidaknya opsi menggunakan jasa porter adalah pilihan yang tepat untuk naik Slamet. Terbukti pendakian yang aku lakukan bersama teman-teman mempercepat waktu pendakian. Dari pos bayangan 1 hingga ke pos 5 berhasil kami raih 5 jam saja. Incredible!
Aku tidak terlalu banyak browsing tentang Slamet. Selain jadwal yang cukup padat, aku berpikir, ya sudah sih tinggal muncak aja. Sama teman-teman dekat ini, pakai porter ini. Namun, nahas. Karena perjalanan yang cukup panjang, teman hanya 1 orang yang nyetir, salah alamat, walhasil sampai basecamp sudah hampir zuhur. Istirahat sejenak dan pukul 2 siang di bawah gerimis pendakian dimulai. Target kami adalah pos 5. Agar memudahkan untuk esok harinya menuju puncak. Dan menuju pos 5 harus bersiap-siap melewati pos 4 yang terkenal dengan nama gerbang Samarantu.
Setelah turun dari Slamet barulah aku mencari informasi tentang pos 4. Ternyata banyak yang menyarankan, kalau magrib lewat sini, sebaiknya jangan. Cukup ngecamp di pos 3 saja. Tapi aku dan tim tetap ngegas hingga pos 5. Entah memang sudah karena takdir musibah, aku mengalami kejadian yang tak diinginkan itu.
“Wilda lo gak pa pa? Kaki lo sakit? Tangan?” tanya Eka tanpa henti.
Sepersekian detik aku tidak bisa menjawab tanyanya. Aku bingung. Heran. Diam dan tak tahu apa yang baru saja terjadi. Ternyata, tersandung kayu dan jatuh ke sisi kanan jalan. Untung. Ya masih untung, tidak jurang. Eka dengan sigap menarik tanganku di tengah gelapnya malam. Aku dibawa duduk. Kemudian baru tersadar, kaki kananku lebam, kedua bahuku sakit bahkan susah untuk digerakkan. Aku kaget. Terutama bahu. Karena sama sekali kram dan sudah digerakkan. Aku buru-buru melakukan peregangan. Fatal kalau dibiarkan. Kakiku? Segera kuurut sejenak, baluri minyak. Masih syukur bisa jalan, walau agak tertatih-tatih karena betis yang lebam. Ransel, di take over oleh Hendry. Thanks, God. Masih aman untuk melanjutkan pendakian.
Ternyata tidak hanya kejadian tragedi aku terjatuh saja yang mewarnai pendakian malam itu. Di trek antara pos 4 dan 5, Hendry dan Eka dibuat merinding dengan penampakan keanehan yang tak sengaja mereka lihat. Sedang dalam perjalanan Hendry yang berada paling depan, keliru trek. Setelah aku, Arien, dan Eka mengikutinya, dia berputar arah.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kayaknya bukan ini deh jalannya,” jawabnya ragu, padahal ini bukan kali pertama Hendry mendaki Slamet.
Eka dan Hendry dengan penerangan headlamp kembali melihat jalan yang tadi hampir kami lalui. Dan, ya, kami ragu akan trek. Akhirnya menunggu Khair dan Heri yang ada di belakang.
Tahu apa yang membuat Hendry mengikuti trek yang salah tadi? Ternyata ketika menyenter ke arah sana, dia melihat sebatang pohon dengan perempuan duduk di atasnya. Dan ketika Hendry menyenteri itu, perempuan tersebut berbalik arah. Pun dengan Eka yang berada di posisi akhir. Karena memakai headlamp yang cukup terang, ketika melihat ke arah itu otomatis senternya mengikut. Dan sama, yang dia lihat juga adalah sesosok perempuan berambut panjang. Untunglah (lagi-lagi untung), aku dan Arien tidak melihat apa-apa. Tapi sensasi merindingnya, jangan ditanya. Gelap, di tengah hutan dan tidak ada pendaki lain. Hanya suara malam, alam, dan sesekali binatang malam yang menemani suasana mencekam.
Beberapa hari setelah pulang dari pendakian, Arien iseng browsing terkait kejadian jatuh yang aku alami. Dia menemukan sebuah blog yang bercerita kejadian yang serupa dengan kami. Salah seorang teman pendakiannya juga pernah terjatuh begitu saja setelah melewati pos 4. Teman lainnya yang indigo bisa melihat kalau temannya itu jatuh karena kakinya ditarik dari dalam tanah dan persis sama juga mereka melihat penampakan perempuan seperti yang dialami Eka dan Hendry. Yah, wallahualam. Walau aku pribadi hingga sekarang juga heran kenapa bisa sampai jatuh. Sebagai seseorang yang cukup detail, teliti, jeli, dan hati-hati, rasa-rasanya tak abis percaya bisa terjatuh begitu saja ketika di jalur pendakian. But, who knows?
Cengkrama di antara kabut jalur pendakian |
Selama pendakian masih identik dengan gerimis yang sesekali turun membasahi bumi. Tiap berpapasan dengan pendaki lain yang turun, untaian kata semangat selalu terdengar menjadi cambuk agar langkah kaki kami berpacu makin kencang. Tiap berhenti di pos 1, 2, dan 3 as usual semangka segar sudah menanti. Bahkan sempat-sempatnya bertitip pesan kepada bapak/ ibu penjaga warung untuk esok hari tetap buka saja walau hari Senin dan sepi pendaki. Kelancaran dan kesuksesan pendakian juga patut kami syukuri dari berkah air hujan yang turun. Membuat trek kotor dan tak bisa asal sembarang berhenti untuk duduk. Jadi istirahat di trek paling hanya diam berdiri 2-3 menit kemudian lanjut jalan lagi.
Alhamdulillah sekitar pukul 19.30 aku dan tim sudah sampai di Pos 5. Berkat bantuan porter, tenda juga sudah berdiri. Tinggal masuk tenda, segera bersih badan dan ganti baju. Lanjut masak untuk makan malam, ngobrol-ngobrol sebentar, kemudian dilanjutkan dengan mimpi indah di bawah bintang-bintang. Alhamdulillah semesta mendukung, rintik hujan menjelang pendakian reda. Kami tiba tepat waktu di Pos 5. Cuca malam hari juga cerah. Optimis untuk esok pagi menuju puncak 3428.
Cuaca cerah di ketinggian 3428 mdpl |
Kawah Gunung Slamet dari kejauhan |
Kawasan puncak gunung Slamet |
Tim yang solid adalah apresiasi tertinggiku untuk pendakian mencapai puncak tertinggi di Jawa Tengah ini. Tanpa mereka, mimpiku bukanlah apa-apa. Karena jujur, pendakian Slamet memang adalah kehendakku. Bagi Hendry, ini adalah kesekian kalinya dia menapaki kaki di gunung Slamet. Sedangkan bagi Heri dan Khair, itu adalah pendakian yang kedua bagi mereka walau yang pertama belum cukup berhasil. Bagi Arien dan Eka, ya mereka anggota tambahan untuk kuota mobil saja. Hehe. Sama sih denganku. Kali pertamanya kami mendaki gunung Slamet. Dan salut takjub untuk Arien, dia dapat menaklukkan Slamet di luar yang aku bayangkan. Sebagai seseorang yang selalu pesimis (tiap diajak jalan), dia sungguh luar biasa di pendakian kala itu. Rekor perdana sampai puncak bersama Hendry. Eka? Ah, sudah biasalah dia naik gunung. So, there’s no special word for her.
Mencari partner yang tepat untuk diajak jalan itu juga merupakan seleksi yang selalu aku lakukan ketika hendak melakukan perjalanan, baik traveling darat apalagi pendakian. Bukan milih-milih, sih. Namun, based on my experience, ketika mendapatkan teman perjalanan yang asyik semua akan terlihat mudah dan happy. Ketololan akan terasa menggembirakan. Keapesan bisa ditertawakan bersama. Apalagi yang sudah saling memahami sifat dan sikap. Terutama bagiku yang suka ngegas ini. Berada di lingkungan mereka sudah menjadi lumrah untuk mereka maklumi. Big virtual hug for all of them. Sehat-sehat kalian semua.
Pagi menyambut sepanjang jalur pendakian menuju puncak |
Sekitar pukul setengah empat pagi Hendry sudah koar-koar membangunkan kami yang masih bergelung dibalik sleeping bag. Sesuai janji, kami ingin memulai summit attack jam 4 pagi. Namun apalah daya, dinginnya pagi tak kuasa menggerakkan badan. Sebenarnya sejak jam 1 dini hari sudah silih berganti pendaki lain yang naik menuju puncak. Sudah terdengar hiruk-pikuk mereka mempersiapkan pendakian menuju puncak 3428. Sayup-sayup keriuhan itu terdengar hingga akhirnya menjelang pukul 3 pagi area camp pos 5 sudah sepi kembali. Pertanda semua sudah berangkat awal menuju puncak dan meninggalkan 2 tenda yang tersisa yang masih berpenghuni. 1 tenda Hendry dan Khair, 1 lagi tenda aku, Arien, Eka dan Hery.
“Buk wil, ayo bangun. Muncak,” teriaknya gak kunjung berhenti.
“Subuh dululah, baru naik,” jawabku sayup-sayup dari dalam tenda.
“Yaaah…”
“Biar afdol naiknya. Biar dikasih cuaca bagus. Daripada subuh di trek. Sini ajalah.”
Hari yang cerah |
Perjalanan menuju puncak tidaklah begitu berat di awal-awal pendakian. Dari Pos 5 sekitar pukul 4.30 pagi, dua jam berikutnya 6.30 kami sudah sampai di pos 9 Plawangan, batas vegetasi menuju puncak yang gersang. Tampak sebuah plang “batas aman pendakian dilarang melintas.”
Tanpa mengulur waktu panjang untuk istirahat aku dan teman-teman lanjut menuju puncak. Lima menit, 10 menit, 20 menit, 30 menit diawal semua berjalan dengan lancar. Trek yang didominasi bebatuan dan pasir masih bisa dilalui. Kalau tidak bisa lurus, ambil kiri, kalau tidak bisa, ambil kanan. Jalan ke arah mana saja asal naik ke atas. Sesekali memang fatal. Kalau salah injak, bahaya. Apalagi menginjak batu yang salah. Terpelesat, sangat mungkin. Atau batu jatuh ke bawah dan menimpa pendaki lain, juga sangat mungkin. Atau pendaki di atas ada yang fatal menginjak batu atau terpeleset, mengenai pendaki di bawahnya juga mungkin. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi kalau tidak bersungguh-sungguh untuk hati-hati di trek itu.
Terlepas dari kian makin sulitnya trek hingga ke atas. Napasku mulai terengah-engah. Agak kesal kenapa treknya sesulit itu. Kenapa aku tidak browsing dulu dengan medan yang harus dilalui jadi tidak kaget. Mencari pijakan yang kokoh pun juga makin susah. Pijak pasir malah jadi oleng dan turun ke bawah. Pijakan batu juga tidak aman. Mulailah pikiran-pikiran capek membebani.
“Semangat, Kak. Tadi pagi aja kami ke puncak sampai 3 jam, loh.” Ucap seorang pendaki yang sedang turun bersama rombongannya.
“Cuaca bagus di atas?”
“Bagus banget, Kak. Sepi juga. Yang muncak dikit.” Sesekali mendapat cambuk semangat seperti itu, stamina serasa terisi kembali.
Cuaca pagi itu benar-benar sangat bersahabat. Langit biru menemani pendakian. Terik matahari menerpa wajah yang sepoi-sepoi ditiup angin. Pendakian yang santuy bersama teman-teman. Dan ketika istirahat melihat ke bawah, masyaallah indahnya pemandangan yang disuguhkan. Walau musim hujan tapi hari itu dikasih cerah. Hhhm, mulailah batinku kembali bergejolak. Drama-drama mellow kembali menyeruak. Hati mulai labil. Kok Allah baik banget ya kasih gue pemandangan seindah ini? Kayaknya udah cukup aja deh sampai sini. Duduk di sini aja liat pemandangan ke bawah udah nikmat yang tak terhingga. Mau lanjut ke atas juga masih lama belum juga sampai-sampai. Ah, hatiku menjadi tak karuan.
“Gue sampai sini aja ya guys. Tungguin kalian di sini.” Akhirnya kalimat itu meluncur dari mulutku. Hati yang campur aduk, trek yang parah, pasir, batu, salah pijak fatal, mana sebenanrnya gak boleh lanjut puncak karena ada larangan. Kalau terpelesat gimana? Nanti turunnya gimana? Dan banyak kalau-kalau yang lain berputar-putar di kepala. Hendry dan Arien sudah duluan paling depan. Eka berdampingan dengan aku. Sedangkan Khair dan Heri ada di bagian belakang. Kata simbol “menyerah” itu akhirnya keluar beberapa kali dari mulutku. Entah pasrah atau merasa tidak pantas diberikan yang terbaik seperti itu. Semua jadi campur aduk, hingga akhirnya air mata ikut menetes. Berkah, permasalahan hidup, perjuangan dan lain-lain dan kawan-kawan akhirnya berhasil meruntuhkan egoku di Slamet. Kontemplasi yang sesungguhnya terjadi di trek itu.
Rupa jalur dari pos IX Plawangan menuju puncak Slamet |
Masih potret jalur menuju puncak |
Hal itu terjadi berulang kali. Walau tiap ketemu pendaki lain yang turun mereka terus menyemangati bahkan ada yang menolong untuk narik ke atas karena bingung mau lewat mana. Tiap istirahat dan duduk melihat ke bawah, takjub saking bagusnya cuaca dan pemandangan. Sungguhlah Slamet se magical itu. Gelak tawa dan air mata menjadi satu.
Dengan perjuangan yang tertatih-tatih itu. Dengan deraian air mata yang sudah membasahi kacamata dan terpesona dengan semesta yang sebaik itu, tepat pukul 08.40 alhamdulillah sampai puncak juga. Cuaca bagus menyambut, sepi pendaki, puas menikmati puncak dan sekitarnya, lari-larian, duduk-duduk menikmati pemandangan di bawah hingga 1 jam lebih berlangsung kami menikmati karunia yang ada. Bersyukur, buatku pribadi yang perdana naik Slamet tidak PR, langsung khatam sampai puncak. Ah, tentulah semua itu tak akan terwujud tanpa timku yang sudah sangat supportif sekali. Tidak membiarkanku menyerah begitu saja. Ah, guys, tanpa kalian apalah arti puncak 3428 bagiku. Kalian luar biasa. Terima kasih sudah selalu ada. Terima kasih sudah mengerti dan memahami.
We made it, guys! |
Tak henti bersyukur diberikan berkah pemandangan seindah ini |
Saatnya bersantai dan menikmati sekitar |
Untuk memudahkan teman-teman yang juga berencana naik Slamet, berikut aku rinci pendakian Slamet via Bambangan. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi rujukan.
01.00 dini hari berangkat dari Jakarta
11.30 sampai bc Bambangan. Istirahat dan repacking sharing barang dengan mas porter.
14.00 ojek sampai menjelang pos 1.
14.15 pendakian dimulai.
19.30 sampai pos 5 (+/- 5 jam pos 1-5). Bersih-bersih, masak dan makan malam.
22.00 istirahat.
Hari kedua:
04.00 bangun dan persiapan summit.
04.30 start muncak.
06.30 pos 9 plawangan.
08.40 sampai puncak (2 jam saja).
10.00 turun.
12.00 sampai pos 5 kembali. Makan nasi goreng udah disiapin mas porter.
14.00 turun.
18.00 sampai bc lagi karena hujan di trek jadi pelan-pelan
22.00 balik lagi ke Jakarta.
Yang perlu menjadi perhatian
Memakai jasa porter adalah keputusan terbaik jika ingin memaksimalkan waktu dalam pendakian. Tidak ada salahnya sharing dengan teman-teman untuk minta tolong dibawakan perlengkapan oleh porter. Tapi ingat juga, ya. Sharing bebannya juga perlu diperhatikan. Kami 6 orang memakai jasa porter 2 orang. Perlengkapan umum dibantu bawa oleh porter, kami memakai daypack. Kalau butuh jasa porter atau mau tanya info-info lain tentang Slamet, bisa menghubungi Mas Tanto di 0888-0257-0511.
Jasa ojek juga sangat membantu memangkas waktu pendakian dari bc ke pos 1. Harga ojek 30rb sekali jalan. Seru-seru menantang. Kalau tidak hujan sih mungkin akan aman-aman saja. Kalau sudah hujan, bersiap-siap aja memacu adrenalin. Untuk tiket masuk pendakian 15rb dan jangan lupa menyertakan Surat Keterangan Sehat untuk masing-masing anggota tim. Selebihnya jaga kesehatan lahir, batin, dan mental. Treknya luar biasa.
Sayonara, sampai ketemu di pendakian berikutnya. Bismillah, semoga Rinjani segera terwujud.
Bersama pendakian lain di puncak Slamet |
Terima kasih, semesta |
Koleksi foto dijepret menggunakan HP Iphone dan camera lumix tanpa editan. Beberapa foto kontribusi dari @dubalang.rimbo si empunya Top Brand Collection, brand koleksi baju kaos pria dan wanita dengan design menarik serta kualitas terbaik. Go check it out!
2 Comments
Terharu baca nya terbayang gmn perjuangan dan drama yg dilalui menuju gunung slamet, tapi seru bikin kangen ya, thengkyu sdh mengajakku kesana, si "pesimis" ini emng perlu tmn "random" dan temen "galak" biar terlecut semangat nya hahaha 😘
BalasHapusMantap!
BalasHapus