“Desember tentu bukan bulan yang baik untuk melakukan pendakian gunung. Tapi, sudah pernah coba belum naik gunung hujan-hujanan? Kalau bagiku, sensasinya seru-seru menantang.”
Pendakian
ke puncak gunung yang memiliki ketinggian 3.019 mdpl ini aku lakukan di hari
Minggu-Selasa, 15-17 Desember 2019. Memang agak beda dari pendakian biasanya
yang aku lakukan di saat weekend.
Yap, karena pendakian via jalur Cibodas ini aku lakukan dalam misi mengemban
amanah mendampingi anak-anak pecinta alam Jiwandaru. Enggak semua siswa yang
terlibat ekskul sih yang ikut, hanya beberapa, 25 siswa dengan 5 orang guru
pendamping ditambah guide 2 orang.
Ya, hitungannya sih rombongan sekolah, hehe. Karena melakukan pendakian bukan
di hari libur jadi tak elak, pasukan kami jadi perhatian khusus bagi beberapa
pendaki lain yang melakukan pendakian di hari yang sama.
“Keren. Pecinta Alamnya lansung ke
Gunung Pangrango. Anak SMA-nya pasti tangguh-tangguh,” sanjung seorang pendaki
yang aku temui di sebuah pos pendakian ketika turun.
“Saya yang deg-degan dampingin mereka.
Tapi Alhamdulillah, semuanya aman, sampai puncak dengan selamat.” Jelasku.
Jujur, beban mendampingi siswa ke
gunung itu sangat luar biasa tanggung jawabnya. Disamping mereka jarang naik
gunung (sepertiku), sudah tentu perlengkapan mereka juga bukan sekaliber
pendaki kawakan. Walau begitu, aku selalu mewanti-mewanti mereka setidaknya
mengusahakan perlengkapan pendakian yang standar, tidak perlu yang mahal atau
bermerek, yang penting safety.
Selain itu, tentu dengan persiapan
yang matang. Rutin olahraga dari beberapa bulan sebelum rencana pendakian.
Bahkan tes terakhir untuk anak-anak ini sebelum diangkut ke gunung adalah
dengan membawa ransel di pundak berisikan pasir dengan berat beban berkilo-kilo
mengelilingi lapangan bola sambil berlari kecil. Melihat antusias mereka yang
luar biasa. Alhamdulillah pendakian ini pun dapat terealisasi dengan sangat
baik.
Menuju Basecamp Cibodas
Berangkat
dari Tangerang Selatan jam 10 malam di hari Minggu. Sampai basecamp jam 1 pagi.
Repacking, istirahat sejenak, salat
subuh, sarapan, pemanasan dan memulai pendakian.
Pendakian Pangrango sebaiknya memang
dimulai dari pagi hari. Kalau bisa setelah subuh langsung start. Apalagi kalau memang targetnya ngecamp di Mandalawangi,
seperti rencana kami kali ini. Namun sayang karena memboyong anak-anak, waktu
yang sudah ditargetkan lumayan molor. Pendakian baru dimulai jam 7 pagi.
Untuk basecamp Cibodas sendiri,
lumayan banyak warung-warung yang berjejer bahkan hampir buka selama 24 jam.
Jadi gak usah khawatir, kalau datang dini hari ke basecamp, masih gampang nyari
tempat buat rebahan dulu sekaligus mengisi perut. Jangan lupa juga sebelum
memulai pendakian, bungkus nasi buat bekal makan siang di trek.
Basecamp
Cibodas - Kandang Badak
Dengan kecepatan sedang menuju pos
Kandang Badak dari Cibodas memakan waktu 5 jam, seperti yang kami lalui. Start
jam 7 jam 12 siang sudah sampai di pos Kandang Badak.
Aku pribadi ini adalah napak tilas
yang ketiga kalinya di jalur Cibodas. 2 sebelumnya ketika lintas Gunung Gede
via Putri-Cibodas. Namun kali ini, harus berusaha ekstra menapaki jalur Cibodas
lagi tapi mendaki. Kalau turun bikin mampus jari-jari kaki terjepit di ujung
sepatu, sedangkan naik harus siap-siap tungkai kaki meleleh, dengkul ketemu
dagu.
Dalam 5 jam pendakian tidak anteng begitu saja. Karena sesekali curah
hujan turun mengguyur trek Cibodas yang didominasi batu. Alhamdulillah, meski
begitu tepat tengah hari, kami sampai di Pos Kandang Badak. Seolah dibuntuti
hujan lebat, baru saja sampai Kandang Badak, langsung keganasan hujan pun
runtuh dari langit.
Pos
Kandang Badak
Belum
sempat mendirikan tenda, bahkan baru saja membuka bungkus nasi bekal makan
siang, hujan lebat turun. Bergegas kami merapat ke sebuah musola darurat di
dekat toilet. Berdesak-desakan juga dengan pendaki lain. Di sela-sela genteng
air hujan menitik membasahi.
Niat ngecamp di Mandalawangi akhirnya
harus rela kami urungkan karena hingga jam 4 sore hujan tak kunjung reda. Dan
sangat berisiko kalau memutuskan melanjutkan perjalanan hingga puncak.
Walhasil dalam keadaan berteduh yang
mepet-mepet -karena genteng musholanya juga banyak yang bocor- beberapa kompor
dinyalakan. Masak air untuk nyeduh minuman hangat serta masak perbekalan
pengganjal perut yang makin lapar.
Jam 4 hujan reda, bergegas tenda
didirikan, ganti baju dan langsung masak perbekalan yang dibawa. Selepas
magrib, gerimis turun lagi. Apa yang bisa diperbuat di cuaca seperti ini selain
tetap meringkuk di dalam tenda sambil berdoa agar semua baik-baik saja.
Ada hal yang menggelitikku di sore
tadi. Ketika anak-anak perempuan dengan bangga pamer kalau nasi mereka sudah
matang dan siap untuk disantap. Aku jadi penasaran, bagaimana bisa mereka lihai
sekali masak di gunung? Aku saja yang sering naik gunung, masih belum bisa
masak nasi pakai nesting.
“Gampang kok, Bu. Tinggal bawa beras ke
tenda sebelah, balik-balik udah jadi nasi,” tunjuknya sambil cekikikan ke tenda
yang berdiri dekat musola.
“O.M.G… pintar ya kamu. Minta masakin
ke si bapak guide ternyata.”
“Haha…Iya, Bu. Mana mungkin kami masak
nasi jadi bagus kayak gini.” Tambah mereka sambil tertawa lepas.
Pintar…pintar… Sudah takut kalah saing
saja aku.
Musala darurat di belakang sana |
Kandang Badak – Puncak
Pangrango
“Bu, muncak jam berapa?” Beberapa kali
terdengar panggilan bapak guide dari luar tenda diselingi dengan langkah tapak
kaki yang sepertinya mau muncak jam 4 pagi.
“Masih pada tidur, Pak. Entar aja abis
Subuh,”jawabku yakin. Karena mustahil rasanya membangunkan anak-anak jam
segini.
Walau saran terbaik untuk muncak
adalah ya jam 4 pagi ini, karena biar siang tidak kena hujan di trek. Tapi apa
boleh buat, boro, bangun salat subuh saja
harus dipaksa, habis itu molor lagi karena dinginnya Kandang Badak lumayan cihuy.
Alhasil jam 6 pagi baru dipaksa untuk
bangun semua. Sarapan dan siap-siap menuju puncak. Tak lupa perbekalan menuju
puncak juga dipastikan untuk dibawa semua. Minuman, cemilan, dan pastinya jas
hujan. Ohya, dari Kandang Badak menuju Puncak Pangrango enggak ada warung sama
sekali. Di Kandang Badak seharusnya ada, cuma bukanya di weekend aja. Kalau mau lewat jalur yang bertabur warung sepanjang
trek, Puteri-lah pilihannya.
Bismillah. Jam 7 pagi menuju puncak
Di sinilah trek Pangrango sesungguhnya
dimulai. Badaiiii ganasnya. Jalur membelah dari Kandang Badak. Kanan menuju
puncak Gede dan kiri menuju puncak Pangrango.
Baru saja meninggalkan Kandang Badak
sudah dinanti oleh beberapa jalur dengan kontur pepohonan yang tumbang. Mau tak
mau harus membungkuk melewatinya. Begitu seterusnya dua, tiga bahkan lebih trek
di dominasi oleh pohon-pohon besar dan akar-akarnya. Keuntungan ngecamp di
Kandang Badak adalah kita tidak perlu membawa beban ransel yang berat melewati
keganasan jalur menuju puncak. Cukup membawa day pack kecil berisi air minum,
snack, jas hujan, obat-obatan dan keperluan ringan lainnya.
Jalur dengan pohon-pohon melintang mendominasi |
Sesekali
kami juga menemui akar pohon yang besar. Kalau tidak hati-hati bisa melilit
kaki dibuatnya. Fokus pada jalur sangat dibutuhkan. Lanjut lagi, tanjakan licin
yang hanya bertumpu pada beberapa akar pohon atau bahkan tak ada sama sekali. Dam* it. Sungguh menyiksa. Bahkan tak
jarang juga lorong-lorong sempit menyemarakkan jalur pendakian. Masuk lorong ke
luar lorong dengan kondisi tanah becek bekas semalam. Luar biasa treknya,
untung saja bonusnya trek agak melipir bukan tanjakan sadis yang tiada
berkesudahan.
Melewati hutan rimba, lebatnya
dedaunan, kabut yang mulai turun menutupi penglihatan. Barulah di depan
terdengar teriakan, PUNCAK. Alhamdulillah tepat jam 10 pagi kami semua sampai
di puncak dengan selamat sehat walafiat. Bak dibuntuti hujan, baru saja 5 menit
sampai puncak dan menyorakkan kebahagian yang lepas, hujan deras langsung
mengguyur. Tapi air hujan tak menyurutkan semangat dan kegembiraan kami.
Dibalut warna-warni jas hujan, rasa syukur tetap kami ucapkan. Berfoto bersama
di tugu Puncak Pangrango lalu bertumpuk berteduh di sebuah pos di sebelah tugu
puncak.
Jalur menuju puncak |
Puncak Pangrango – Lembah Mandalawangi
Persis
di sebelah tugu puncak Pangrango ada sebuah pos kecil yang hanya beratap
genteng. Di sinilah kami berteduh, berdempet-dempetan hanya sekadar meneduhkan
kepala. Beda dengan bapak guide, ada yang bawa payung, tak tanggung-tanggung,
payung berwarna pink. Sementara kami berteduh berdesak-desakan di pos genteng
beliau malah tersenyum-senyum di depan kami di bawah payung pinknya.Untung saja
tidak weekend. Jadi tidak banyak
pendaki lain kecuali hanya kelompok kami.
Menunggu hujan reda tidak mungkin,
karena tipikal hujannya bakalan awet. Akhirnya bapak guide tetap berinisiatif
menghalau kami hujan-hujanan menuju lembah Mandalawangi.
“Ayo lanjut aja. Deket, kok” ucap si
bapak.
Demi melepas penasaran meluncurlah
para astronot berjas hujan menuju lembah Mandalawangi. Eh tapi benar saja,
tidak sampai 3 menit hamparan padang edelweiss sudah menanti di depan mata. Di
bawah rintik hujan, air mata bercampur dengan haru. Akhirnya Tuhan, sampai juga
aku di sini. Melihat jejak Soe Hok Gie. Ingin rasanya memutar lagu Cahaya Bulan,
dan agak berlama-lama di sini menikmati keindahan ini. Tapi apa daya, hujan tak
kunjung reda. Ditambah lagi tidak ada satu pun tempat untuk berteduh selain
hanya bertudung jas hujan.
Walau tak seluas Surya Kencana,
Mandalawangi punya pesona tersendiri. Keheningannya berhasil memikat hati.
Terkesan masih sangat syahdu dalam kesendiriannya.
Anak-anak sangat menikmati berada di
area ini. Mereka mengindahkan air hujan yang terus turun. Berpetak umpet HP
atau camera agar tak kena air hujan tapi tetap bisa mengabadikan jepretan di
lembah Mandalawangi yang fenomenal ini. Hhmm, rasanya aku tak salah mengambil
keputusan untuk tidak jadi lanjut ngecamp di Mandalawangi, selain treknya yang
jitu di Mandalawangi ini juga tidak ada sama sekali sumber mata air, tidak ada
warung bahkan juga tidak ada tenda lain yang berdiri. Ngeri juga. Entahlah, apa
memang karena weekdays atau memang
sehari-harinya jarang yang ngecamp di sini. Sepi. KaItulah kesan Mandalawangi.
Setidaknya Kandang Badak cukup punya
fasilitas. Sumber air, musola (walau darurat) bahkan toilet. Iya toilet yang suitable. Bisa bayangkan bagaimana
mereka membangun toilet di ketinggian seperti Kandang Badak? Makanya, sadar ya.
Ke Toilet jangan lupa bayar.
Hello dari Mandalawangi |
Tidak
berlama-lama di Mandalawangi dan khawatir hujan makin lebat, kami harus
merelakan berpisah dengan Mandawangi. Bapak guide menyarankan kami semua segera
turun sebelum diserang hypo karena kedinginan dan basah kena hujan. Singkat
tapi penuh makna. See you again Mandalawangi.
Puncak
Pangrango – Kandang Badak
Menuju puncak lagi dan langsung turun dalam kondisi hujan-hujanan. Apa
yang terjadi? Yah, sesuai dugaan tentu saja trek-trek yang berupa selokan dan
bandar yang kami lewati saat naik sudah menjadi sungai kecil dengan aliran air.
Makin asoi treknya. Lewati aliran air. Hati-hati dan tetap berdoa semoga
anak-anak semua baik-baik saja. Tidak dapat berbuat apa-apa selain hanya penuh
kehati-hatian dan terus menerjangnya karena tidak ada jalur alternative. Walau
sesekali hujan reda, tapi hujan lagi. Begitu seterusnya cuaca bergantian
memainkan perannya.
Tapi Alhamdulillah semua terlewati dengan aman. 1 jam setelahnya kami
semua kembali tiba di camp area Kandang Badak dan lagi-lagi masih dalam kondisi
hujan.
Trek turun |
Kandang Badak – Basecamp Cibodas
Tiba
di camp Area Kandang Badak kami bergegas untuk mengisi perut dan melaksanakan
salat. Menyicil packing untuk bersiap-siap turun. Namun, dalam kegaduhan
berberes hujan lebat kembali mengguyur. Peralatan makan, kompor,
nesting-nesting masih bergeletak di luaran tenda. Belum sempat merapikan
guyuran hujan dahsyat sudah turun. Alhasil kembali meringkuk di dalam tenda
sembari menunggu hujan reda.
Pukul 14.00, 15.00 hujan tak kunjung
jua reda. Gerimis pun tidak. Masih lebat menghantam bumi. Nampaknya tak akan
segera reda. Khawatir makin kemalaman untuk turun, pak guide menginstruksikan
untuk segera saja bongkar tenda walau kondisi hujan-hujanan. Bagaimana lagi,
daripada menunggu yang tidak pasti?
Ransel-ransel yang sudah beres segera
dioper ke mushola darurat. Jas hujan kembali dipasang. Untung, kami membawa
persediaan jas hujan lebih. Jadi walau yang satu sudah basah atau bahkan sobek,
masih ada stock lagi. Di bawah rintik-rintik hujan kami terpaksa membongkar
tenda, merapikan peralatan-peralatan yang masih tergeletak. Sesekali aku juga
memonitor anak-anak. Takut ada yang tidak gerak akhirnya kedinginan.
Area camp Kandang Badak diguyur hujan tiada henti |
Jam
4 sore, Bismillah, kami turun hujan-hujanan. Dalam kondisi waspada. Air, senter
dan obat-obatan ditata di tempat yang paling mudah untuk dijangkau. Karena
prediksi bakal malam sampai di basecamp.
Walau sepanjang pendakian kami
diberkahi hujan, tapi pada anak-anak tetap kami sampaikan rasa syukur. Walau
beban makin berat bercampur air hujan, sepatu basah, tas basah, semua basah
meski sudah pakai jas hujan harus tetap bersyukur, masih diberi keselamatan dan
kesehatan untuk semua tim.
Azan magrib berkumandang kami juga
masih tetap di trek. Istirahat di pos lalu mengeluarkan senter masing-masing
dan melanjutkan perjalanan. Bapak guide dan guru pendamping berbagi formasi di
depan, tengah dan belakang untuk memantau anak-anak lebih intens. Sudah malam
jangan sampai ada yang terpisah walau sebenarnya trek sudah sangat jelas.
Alhamdulillah dengan semangat yang
terus menggebu-gebu dan rasa syukur yang tak henti kami semua sampai kembali ke
basecamp di jam 7 malam dengan semua tim selamat sejat walafiat tanpa kurang
satu apapun jua.
Thank you, team |
Pangrango
yang sangat aduhai.
Buat pendaki pemula, tentunya
Pangrango bukanlah pilihan gunung yang tepat. Karena adu dengkul, bukan adu
rayu. Lalu kok bisa anak-anak SMA sampai ke puncak sini? Seperti yang aku
sampaikan di atas karena mereka sudah dilatih, bahkan nonstop tiap minggu dari
bebrapa bulan sebelumnya.
Walau hujan mendominasi selama
pendakian, Alhamdulillah aku tetap bersyukur. Puncak Pangrango akhirnya dapat
digapai.
Menutup
pendakian gunung ke-5 ku di tahun 2019.
Menutup
pendakianku di 2019.
Ciremai,
Sumbing, Sindoro, Kembang, dan Pangrango.
Alhamdulilah.
Sampai jumpa puncak-puncak berikutnya.
For more pictures check on my Instagram account @wildahikmalia