Petualangan Gila Menuju Air Terjun Tumpak Sewu
April 20, 2019
Alasan utamaku untuk kembali lagi ke
Malang adalah untuk manyambangi air terjun yang fenomenal ini. Memang ya Jawa
Timur itu menurutku surganya air-air terjun kece. Dulu tahun 2015 aku pikir
Madakaripura adalah yang terkeren di Jawa Timur tapi ternyata belakangan aku
jatuh cinta kembali dengan air terjun lainnya yaitu Tumpak Sewu. Sebuah air
terjun yang terletak di tengah hutan belantara, bak lubang besar di tengahnya
dan di sanalah dia mengalir jatuh berbentuk tirai ke bawah dengan indahnya. Di
tambah lagi jika beruntung cuaca sedang cerah membahana akan tampak gunung
Semeru sebagai latar belakang dari air terjun ini. Yap, air terjun dengan
ketinggian 120 meter ini letaknya persis di kaki Gunung Semeru berada di antara
perbatasan dua wilayah, Lumajang dan Malang.
Tadinya perjalananku ke sini akan
menjadi solo trip untuk yang kesekian kalinya. Maklum, terkait waktu dan
terkadang banyak alasan jadilah hanya wacana bagi sebagian teman-teman yang
ingin ikut. Tapi beruntung beberapa bulan sebelum trip Malang ini berjalan ada
2 orang teman dekat yang mau join
yaitu Annisa dan Nope. Yeey, no solo trip
any more (for this time). Finally, Minggu 4 Maret 2019 aku akhirnya dapat merasakan
sensasi melihat langsung keindahan air terjun ini. Oya, sebelumnya juga air
terjun ini adalah mimpi yang aku gantungkan di atas sana. Sebagai pengoleksi
kalender dengan foto-foto pemandangan di dalamnya membuatku waktu itu langsung
berucap ketika ada gambar Tumpak Sewu di bulan yang terpampang, “Next nih, Tumpak Sewu.”
There’s no word but Masya Allah |
Seorang teman di Malang (yang juga baru
aku kenal lewat media sosial instagram) menawarkan bersiap untuk mengantarku ke
Tumpak Sewu, dia adalah Mas Eko. Tadinya kami sepakat akan ke Tumpak Sewu dengan
motor. Tapi setelah pertimbangan khawatir kecapaian di jalan aku memutuskan
untuk menyewa mobil saja. Setidaknya nanti bisa relaks selama perjalanan dan
istirahat apalagi tengah malamnya akan melanjutkan perjalanan ke Bromo. Bertiga
dengan Annisa dan Nope aku mengajak Mas Eko untuk turut serta dengan seorang
teman lekakinya yang lain yaitu Mas Dedy. Berenam dengan Pak Budi -sang driver-
meluncurlah enam orang petualang ini menuju Tumpak Sewu. Kenapa berenam? Yap,
karena Pak Budi juga akan ikut andil menemani petualanganku kali ini. Pada saat
pertama kali menghubungi beliau dan mengatakan aku akan menuju Tumpak Sewu,
beliau mengiyakan ketika kutanya apakah nanti bisa menemani ke bawah atau
tidak.
Air Terjun Tumpak Sewu atau yang biasa
disebut juga dengan sebutan Coban Sewu dapat dicapai dari Kota Malang sekitar
2-3 jam tergantung kondisi dalam perjalanan. Terdapat tiga pintu masuk jika mau
melihat air terjun ini dari dekat yaitu turun ke bawah aliran jatuhnya air.
Pertama dari bagian Kabupaten Malang dengan pintu masuk bernama Coban Sewu,
lalu bisa dari Lumajang bernama Tumpak Sewu dan satunya lagi dari Goa Tetes.
Dari ketiga pintu ini bisa juga dicapai dengan jalur lintas. Misal masuk dari
Coban Sewu dan keluar dari Tumpak Sewu atau Goa Tetes. Atupun jika tidak mau
lintas, juga bisa. Lalu bagaimana dengan ruteku? Ini adalah rute menantang
nyawa lainnya yang membuat jantungku berhenti berdetak dan geleng-geleng kepala
tak abis pikir. Rute apakah itu?
Sangat berhati-hati jika mau poto di spot ini |
“Elo sih travelingnya abis dari
Anambas menantang maut terus,” begitu celoteh Annisa ketika terkejut mendengar
kabar kalau hujan lebat mengguyur Tumpak Sewu dan seluruh pengunjung harus
berhati-hati terutama yang berada di bawah (area utama air terjun). Yap, aku
tak menyangka kalau ternyata turun menuju area utama air terjun itu adalah hal
yang membuatku geram. Geram pada diri sendiri dan geram terhadap treknya.
Jalur masuk yang dilalui adalah Coban
Sewu dari daerah Malang dengan tiket masuk seharga Rp10.000,-. Trek awal menuju
air terjun ini lumayan agak mudah untuk dijangkau. Dari area parkir melewati
kebun buah Salak lalu turun sedikit dan setelahnya barulah tampak air terjun
cantik yang menyapa pengunjung datang. Dari atas sini sebenarnya sudah sangat
apik kalau hanya sekadar mengabadikan air terjun. Di kelilingi hijaunya
pepohonan mempercantik air terjun. Aku saja ketika baru sekilas melihatnya dari
atas tak henti-hentinya berucap takjub, Masya
Allah. Sampai dititik ini siapa saja bisa menikmatinya, termasuk Annisa
yang punya riwayat sakit asma. Selanjutnya dia tidak ikut petualangan yang
sesungguhnya karena untuk mencapai titik ini saja dia sudah penuh perjuangan.
Baginya sampai di titik terakhir menikmati air terjun dari atas ini adalah
petualangan sesungguhnya bagi dirinya. Dia ditemani Pak Budi menyelesaikan
sampai di sini dan lanjut kembali ke atas sedangkan aku, Nope, Mas Eko dan Mas
Dedy melanjutkan ekspedisi Tumpak Sewu yang menjadi ambisi besarku kali ini.
Ambisi yang kembali dapat aku kalahkan.
Kalau tak berani turun ke bawah sampai di sini juga sudah oke view-nya |
Mas Eko tampak senyam-senyum ketika
memulai turun dari tangga pertama jalur Coban Sewu ini. Dia mengambil alih
paling depan sebagai navigator diikuti Nope, aku dan terakhir Mas Dedy.
“Jalurnya gini loh Mba,” ucapnya.
“Oke mas, Bismillah. Bisa kok Insya
Allah,” yakinku.
Jalur ini menggunakan sepenuhnya
tangga yang ditempel pada dinding jurang. Dulunya kata Mas Eko tangga ini
adalah tangga bambu. Karena lapuk perihal keamanannya sekarang berganti menjadi
tangga besi. Tangga-tangga besi ini ditegakkan di dinding tebing bertumpu dari
satu tanah ke tanah bawah berikutnya. Bahkan ada yang hanya bertumpu pada
sebuah pohon. Awalnya tangga ini tak terlalu mengerikan. Kemiringan 45˚ lumayan
bisa dijangkaulah, versiku. Dan pikirku juga tak bakalan terlalu banyak tangga
untuk bisa sampai di bawah. Tapi ternyata satu tangga terlewati, dua tangga,
tiga tangga dan makin banyak tangga lainnya lagi. Ditambah juga dari kemiringan
45˚ sampai-sampai menjadi 90˚ tegak lurus dan terikat tali pada sebuah pohon. What the ….
Satu-dua-tiga tangga (walau aku kurang
ingat persisnya) masih bisa berlagak santai, rileks dan sellow. Tapi setelahnya
ketika tangga-tangga berikutnya yang tak ada hentinya membuat batinku
bergejolak. Ada perdebatan di otak, “Ini
gila aja sih, tangga begini bak dicantolin gitu doank di tebing jurang, diikat
pakai tali, tanpa pengaman dan bisa saja hal fatal terjadi,” Berkali-kali
aku harus berdebat dengan batin. Apalagi makin ke bawah bahkan tak terlihat
lagi pijakan kaki di tangga berikutnya. Hanya berdasarkan raba-raba perasaan
saja. Berkali-kali juga aku stuck di
tengah-tengah tangga pas turun, menarik nafas dan mengulang-ulang lagi hal gila
yang sedang aku lakukan. Berkali-kali juga Mas Dedy dengan tenang menungguku,
walau sesekali melempar tatapan ejekan dengan keciutan nyaliku. Berkali-kali
juga aku mengeram gigi padanya saking gregetnya dengan hal (entahlah) yang sedang
aku lakukan.
Turunan pertama dimulai |
Duuuh Ya Allah, tak berhenti-henti
juga aku mengucap do’a, dzikir, ayat kursi dalam hati meminta kekuatan agar aku
bisa melewati trek ini. Ini trek gila. Sungguh, sangat gila. Karena keamanan hanya
terletak pada tangga yang beberapa kemungkinan apapun bisa saja terjadi. Namun,
dalam ketenangan aku sesekali dapat berdamai dengan diri. Berucap “bayangkan Wilda bagaimana masyarakat
membuat jalur ini, membantu orang-orang gila sepertimu untuk dapat turun ke
bawah. Bayangkan perjuangan mereka. Bayangkan.” Lalu perlahan Bismillah kembali aku melanjutkan
turunan dengan kaki gemetaran.
Selain penguat diri sendiri tiga orang
teman seperjalanan kali ini juga menjadi support
system terkuat dalam petualanganku. Mas Eko, yang sabar mendengar ocehanku
ketika menyalahkan dia kenapa memberi jalur ini sedangkan ada pilihan jalur
lainnya. Mas Dedy yang juga tak luput dari belalakan mata dan geramnya gigiku
ketika dia tidak tahan melihatku turun lemot bagai siput. Lalu yang terakhir
adalah Nope. Dialah patokanku untuk bisa melalui trek gila ini. Nope saja yang
tak pernah naik gunung dan fobiya ketinggian bisa, masa aku tidak? Dan jujur,
kalau tidak ada Nope mungkin aku sudah lambaikan tangan duluan dan naik kembali
ke atas seperti sepasang foreigner
yang ditemui pada saat turun. Ketika bertanya bagaimana treknya mereka
mengatakan tidak lanjut sampai bawah. Dan kulihat si perempuan juga sedikit saltum, memakai sandal santai buat ke mall bukan sepatu atau sandal gunung.
Kemiringannya sudah tak karuan. Nope di bagian bawah. |
“Kak, jangan turun dulu. Tungguin kita
sampai bawah dulu. Tangganya rapuh,” teriak Nope di tengah perjalanan turun.
“What!” balasku teriak tak mau kalah.
“Iya, goyang nih. Takut ga kuat kalo
kita berempat,” jawab Nope yang aku lihat ke bawah sudah hampir tak tampak
wujud kepalanya.
Maakkk… Gila sih, aku kembali
mengerutu pada Mas Dedy yang dengan wajah lempengnya tetap santai dan tersenyum
seolah biasa saja. Padahal ini juga kali pertamanya ke sini. Ekspresinya minta ditampol.
Tak hitung tangga yang dituruni, tak
hitung do’a yang terpanjat, tak hitung semangat yang digenjot dan tak hitung
tarikan nafas yang sesak akhirnya aku dan ketiga orang temanku sampai juga di
tangga terakhir. Di tangga tinggi yang ditopang dengan kayu di
tengah-tengahnya. Tangga terakhir yang membuatku sudah pasrah kalau ada yang
harus terjadi karena ketika mendongak ke atas tepat tebing 90˚ yang kami lalui
tanpa pengaman dan tanpa pegangan apa-apa selain si tangga tersebut. Perjuanganpun
menjadi makin seru deg-degan ketika hujan turun sedangkan masih ada beberapa
tangga lagi di bawah yang harus dilalui. Ketika papasan dengan orang lain yang
mau naik ke atas dan mengatakan kalau hujan lebat tidak bisa menuju ke inti air
terjun karena banjir, dan masih harus trekking lagi dari tangga terakhir. Makin
tak karuanlah rasa hati. Masa sudah sejauh ini tidak dapat ke air terjun inti
dan hujan lagi.
Ah sudahlah, semua bercampur aduk.
Satu hal yang pasti aku sudah dapat melalui trek gila ini. Setidaknya nanti
pulang tidak lewat jalur ini lagi. Karena tadipun aku berani lanjut ke bawah
karena sudah membuat janji dengan Mas Eko, untuk pulang kita pilih jalur
berbeda. Kalau tidak mau aku tidak lanjut. Haha.
Hatiku campur aduk ketika sudah sampai
di bawah. Menatap ke atas dan benar-benar gila tebing tinggi yang sudah kami
taklukkan. Benar-benar gila. Aaarrrhhh,
pekikku tak tertahankan. Bersamaan dengan hujan turun lebat perjalanan masih
harus dilanjutkan. “Jangan lama-lama ya di air terjun, banjir.” Begitu ucap
petugas yang berjaga di bawah ketika melihat empat manusia turun basah-basahan
dari tebing tinggi. Petualangan gila ini baru saja dimulai. Benar baru saja
dimulai. Masih berlanjut dengan cerita berikutnya. Hujan-hujanan di air terjun,
bersiaga takut terjebak banjir dan petualangan gila lainnya keluar dari Tumpak
Sewu menuju Goa Tetes dengan mengarungi aliran sungai, terpleset jatuh, basah-basahan,
trek yang licin dan pekikan lainnya lagi.
Bersambung…
Artikel
ini adalah bagian dari long trip-ku di
Jawa Timur 1-5 Maret 2019. Monggo dibaca juga cerita lainnya :
3.
Air Terjun Tumpak Sewu
4.
Goa Tetes
5.
Madura
3 Comments
Keren. sangat informatif, serasa berada di anak tangga
BalasHapusHarus coba langsung ya biar makin berasa hehe
HapusThanks sudah mampir :)
Siap guide tin yaa 😁
BalasHapus