Solo Traveling Ke Danau 3 Warna Kelimutu
Mei 01, 2018Hello Kelimutu |
Pernah
merasakan jajan pakai uang kertas 5.000 rupiah emisi tahun 1992 ?
Yang
gambar depannya Alat music Sasando Rote dan gambar belakangnya Kawah Tiga Warna
Kelimutu?
Well,
kalau pernah mungkin kita sama-sama anak generasi 90-an, generasi terakhir yang
merasakan betapa senang luar biasanya ketika uang ini berada di saku. Tak kalah
senangnya juga Alhamdulillah Januari
2018 lalu saya akhirnya berhasil menginjakkan kaki ke icon uang 5.000-an kertas
yang bertanda tangan Prof. Andrianus Mooy – Hasudungan Tampubolon ini.
So, how to go there?
Kalau
kamu juga berencana berkunjung ke Danau Tiga Warna ini, kamu sudah selangkah
lagi untuk menuju ke sana karena di artikel kali ini saya akan membahas detail
perjalanan saya bisa sampai ke puncak Gunung Kelimutu.
Rabu, 24 Januari 2018
Adalah
kali pertama saya menginjakkan kaki di provinsi Nusa Tenggara Timur. Setelah
satu hari transit terlebih dahulu di Kupang, ibukota NTT. Keesokan harinya
barulah Wings Air membawa langkah kaki menuju gugusan pulau lainnya di NTT,
yaitu Ende. Ende adalah akses awal untuk penerbangan jika ingin menuju ke
Kelimutu. Sayangnya, menuju Bandara Haji Hasan Aroeboesman ini tidak ada
penerbangan langsung dari Jakarta (CGK). Terlebih dahulu harus transit, entah
itu transit di Denpasar, Labuan Bajo ataupun Kupang. Dari tiga tempat transit
tersebut barulah penerbangan dilanjutkan dengan maskapai kecil seperti Wings
Air dan NAM Air.
NAM salah satu maskapai Kupang-Ende |
Mengapa saya begitu tertarik
dengan Kelimutu?
Jawaban
satu-satunya adalah karena uang kertas 5.000 tersebut di awal yang saya
kupas. Entah kenapa saya jadi menargetkan mengunjungi icon wisata
pada uang kertas jaman dulu, Alhamdulillah
sebelumnya sudah bertapak di uang kertas 1.000 rupiah Danau Toba, 500 rupiah
Orangutan dan 100 rupiah merah Kapal Phinisi (SulSel). And now, times to Kelimutu.
Uang pamungkas jaman old |
Danau
yang terletak di Gunung Kelimutu Flores, NTT ini memang sangat menjadi daya
tarik tersendiri bagi para wisatawan. Baik itu untuk wisatawan lokal maupun
mancanegara. Waktu terbaik untuk berkunjung ke sini adalah di pagi hari. Karena
diwaktu itulah matahari pagi akan menampakkan dirinya dan menerangi kawasan
gunung yang dipercantik oleh 3 danau berwarna disekitarnya. Bagi banyak
kalangan pelancong memang Kelimutu lebih familiar disebut Danau bukannya
Gunung. Padahal tepatnya, danau ini memang berada di area Gunung Kelimutu yang
terletak di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende. Akses terbaik ya
tentunya dari pusat Kota Ende.
Selain
3 danau tersebut tentunya ada hal paling menarik yaitu warna air 3 danau ini
yang berubah-rubah. Kadang berwarna merah, putih, biru, hitam atau warna-warna
lainnya. Konon katanya warna-warnya itu menyimpan history mistic di dalamnya. Tempat ini memang adalah tempat keramat
yang sakral bagi masyarakat setempat. Masyarakat mempercayai bahwa seseorang
yang telah meninggal dunia, arwahnya akan menuju ke Kelimutu dan akan mendiami
salah satu diantara tiga danau tersebut. Jadi wajib bagi pengunjung untuk tetap
menjaga, melestarikan dan menghormati sekitar Kelimutu ketika berkunjung ke
sini.
Dibalut kabut menuju puncak |
Kamis, 25 Januari
2018
Sempat kaget ketika mendarat pertama
kalinya di Ende, salah satu wilayah yang pernah menjadi saksi tempat
pengasingan presiden pertama Indonesia ini. Sedang asyik-asyiknya merekam
baling-baling Wings Air di lautan lepas, tiba-tiba pesawat segera turun menukik,
mendarat di bandara Ende. Ternyata Bandara Haji Hasan Aroeboesman ini langsung
berbatasan dengan lautan. Baik itu landing atau take off langsung ujung
landasan bertemu dengan laut.
Sore hari setelah check in hotel sayapun gerilya mencari info untuk menuju Kelimutu esok hari. Hasil dari perselancaran dunia maya dan tanya-tanya teman, sebenarnya akses menuju Kelimutu lebih efektif jika memutuskan untuk menginap di Moni, desa terakhir yang berada persis di kaki Gunung Kelimutu. Karena sudah sore dan tidak memungkinkan untuk menuju Moni akhirnya saya memutuskan saja untuk menginap di Hotel Syifa, salah satu hotel yang berada dekat bandara. Selain karena terletak strategis di pusat kota, persis di sebelah hotel ini ada warung makan ayam khas, yang menurut saya pribadai porsi luar biasa harga juga bersahaja dan rasa jangan ditanya. Dua malam menginap di sini, 2x juga saya mencicipi aneka makanan di warung ini. Eh jadi tiga kali deng ketika malam-malam kelaparan akhirnya memutuskan untuk beli nasi goreng di sini. Kalo dari segi penginapan, Syifa cukup direkomendasikanlah, meski tidak terlalu wow tapi dari segi pelayanan dan fasilitas cukup memuaskan apalagi ada nilai tambahnya warung makan disebelah yang menggoda.
Tampak
Gunung Meja dari landasan bandara Ende
|
Sore hari setelah check in hotel sayapun gerilya mencari info untuk menuju Kelimutu esok hari. Hasil dari perselancaran dunia maya dan tanya-tanya teman, sebenarnya akses menuju Kelimutu lebih efektif jika memutuskan untuk menginap di Moni, desa terakhir yang berada persis di kaki Gunung Kelimutu. Karena sudah sore dan tidak memungkinkan untuk menuju Moni akhirnya saya memutuskan saja untuk menginap di Hotel Syifa, salah satu hotel yang berada dekat bandara. Selain karena terletak strategis di pusat kota, persis di sebelah hotel ini ada warung makan ayam khas, yang menurut saya pribadai porsi luar biasa harga juga bersahaja dan rasa jangan ditanya. Dua malam menginap di sini, 2x juga saya mencicipi aneka makanan di warung ini. Eh jadi tiga kali deng ketika malam-malam kelaparan akhirnya memutuskan untuk beli nasi goreng di sini. Kalo dari segi penginapan, Syifa cukup direkomendasikanlah, meski tidak terlalu wow tapi dari segi pelayanan dan fasilitas cukup memuaskan apalagi ada nilai tambahnya warung makan disebelah yang menggoda.
Menu yang menggoda bukan? |
Ketika
check in saya bertanyalah pada petugas yang jaga, ada info untuk ke
Kelimutukah? Begitulah kira-kira pertanyaan singkat saya. Sejauh yang saya tahu
biasanya pihak hotel pasti menyediakan semacam rent car, tour or something like that lah apalagi Ende sangat
terkenal dengan Kelimutu. Cerita lanjut cerita akhirnya saya ditawarkan rent car + driver + bensin untuk ke
Kelimutu dari pihak hotel seharga Rp 700.000,- . WOW. Saya langsung
manggut-manggut dan elus dada dalam hati. Yang benar saja, 700rebo. Saya masih
berlagak santai mendengar harga tersebut, padahal dalam hati, duh ileh mana sanggup kantong ane.
“Ga ada tamu lain gitu mba yang mau ke
Kelimutu besok? Jadi biar bisa share
cost, patungan gitu,” telisik ke mbak staff hotel.
“Ga ada bu. Lagi jarang sekarang kan
cuaca juga lagi kurang bagus.”
“Oh…mahal juga ya kalo 700ribu.”
Akhirnya kata mahal itu terlontar juga di mulut. “Ya udah deh mba, nanti saya
kabari lagi ya, saya sambil nyari-nyari info sama teman.” Langsung undur diri
menuju kamar. Eh tahu-tahu security hotel tadi yang menyambut saya menghampiri,
“Mau ke Kelimutu ya Kak …?”
“Iya…”
Terjadilah obrolan singkat dan
berakhir dengan tukeran nomor HP.
Apa
obrolan singkat itu?
Ternyata si bapak security menawari
saya mengantar ke Kelimutu dengan harga lebih murah dari yang ditawarkan pihak
hotel. Hhhmm… Malam harinya terjadilah negosiasi sengit dengan si bapak
security. Tadinya dia bersedia mengantarkan saya dengan motor menuju Kelimutu
dengan harga 300ribu tapi ternyata kemudian dia mendapat pinjaman mobil dan
menawarkan pakai roda empat saja dengan menambah sedikit rupiah lagi. Katanya
biar lebih aman, jalanan ke sana jauh, dingin pula, apalagi kadang cuaca suka
hujan, kalau pakai mobil bisa mengantisipasilah. Setelah nego-nego-nego dan
nego ala pedagang Tanah Abang akhirnya kami sampai di kata sepakat. Setelah
dari Kelimutu si bapak juga bersedia mengantarkan saya ke objek lainnya yang
berdekatan termasuk city tour Ende, terutama Rumah Pengasingan Bung Karno. Oke
deal. Memang ya rejeki #CalonMantuSolehaJamanNow itu tidak bakalan ke mana.
with Pak Dadang |
Jum’at, 26 Januari 2018
Harusnya
kami sudah sepakat bakal berangkat jam 2 pagi. Menurut perkiraan seorang teman
yang sudah pernah ke Kelimutu, dari Ende ke Moni bisa memakan waktu 2 jam-an,
Moni-Kelimutu 1 jam-an. Jadi efekfif dari Ende jam 2 pagi, agar jam 5 sudah
sampai di Puncak Kelimutu dan bisa menyaksikan MahaSpektakulernya sunrise
Kelimutu.
Lagi-lagi
kurang tidur. Hanya tidur dari jam setengah 12 malam WITA dan jam 1 sudah harus
bangun, packing dan siap-siap. Tapi apalah daya, ternyata si Pak Dadang malah
baru bisa berangkat jam 3 pagi alasannya si mobil belum datang. Weslah semoga
sunrise tidak terlewat.
Meluncurlah
membelah jalanan Ende jam 3 pagi roda empat menuju Kelimutu.
Bismillah…
Aku
memercayakan perjalanan ini sepenuhnya kepada Pak Dadang, dia yang tahu jalan,
yang juga sudah bolak-balik ke danau ini. Sebelum terlalu jauh, ternyata dia
membawa seorang adik laki-lakinya bersama kami. Katanya (lagi) dia belum tidur
dari semalam, kalau dia tidur takut kebablasan, jadilah dia membawa serta adik
lelakinya untuk nanti menemani aku ke atas sedangkan dia tidur di mobil. Kalau
tidak begitu, nanti mata tidak kuat untuk balik. Alaamaak, aku manggut-manggut
saja menurutinya. Padahal sekarang kantukku juga luar biasa tak tertahankan.
Tapi kalau aku tidur, Pak Dadang nyetir sendiri, kalau dia terkantuk-kantut
juga, nyetir sambil tidur? Akhirnya aku pasrah menahan mata untuk bersabar dan
menemani Pak Dadang selama dalam perjalanan. Ngobrol sana-sini dan waspada
sekitar.
Ternyata
jalanan malam itu lebih mencekam dari yang aku duga. Tiada mobil papasan
apalagi motor. Hanya mobil kami seorang ditengah jalan di tengah hutan yang
tidak aku ketahui. Di tengah jalan yang masih antah-barantah dan diantara
omongan-omonganku yang sudah tidak berbobot lagi, Pak Dadang tiba-tiba
berhenti, menarik rem tangan dan turun dari mobil. Aku kaget. Ada apa? Adiknya
di kursi belakang antara setengah sadar atau tidak. Pak Dadang jalan sedikit ke
depan mobil lalu merentangkan tangannya ke atas, menunduk ke bawah, merukuk,
membentangkan tangan ke kanan-ke kiri, meregangkan badannya. Aku masih diam,
menerka-nerka.
“Aduh
ngantuk nih,” ucap Pak Dadang kembali ke mobil.
Oalah,
ternyata dia sedang peregangan otot-otot. Mbok ya sebelum turun dikasih tahu
toh ya Pak, biar saya tidak menduga-duga dan ketakutan. Beberapa kali dia
melakukan hal yang sama. Beberapa kali juga aku meminta dia menepi saja dulu
cari rumah penduduk, istirahat sejenak, memejamkan mata.
“Bentar
lagi Moni kok.” Dia berkilah.
Perjalanan
tetap dilanjutkan, akupun juga bertarung melawan dua kantuk, pertama kantuk
diri sendiri dan kedua mengusir kantuknya Pak Dadang.
Menjelang
masuk Desa Moni rintik-rintik hujan turun membasahi. Untung pakai mobil, kalau
tidak saya tidak bisa membayangkan betapa dinginnya malam ini berjam-jam
menempuh perjalanan panjang. Selain itu rintangan lain juga tak kalah
menghadang. Beberapa kali kami melewati pohon tumbang yang menghalangi jalan,
longsor kecil bahkan tiang listrik terjulur di jalan. Saya sampai hopeless ketika tiang listrik roboh yang
terbentang di jalan, pelan-pelan saya meminta Pak Dadang untuk mengecek dulu,
bisa lewat atau tidak. Bahaya arusnya ditengah hujan angin seperti ini.
Kabut yang menyelimuti pagi itu |
Kabut
dan angin kencang masih menyelimuti Kelimutu pagi ini. Pos terakhir sebelum
nanjak juga masih tampak sepi. Hanya ada beberapa anak manusia saja yang
kebanyakan berparas orang sekitar di balik sarung dan syal yang mengelung di
leher mereka. Hanya satu dua-orang yang tampak bak turis sepertiku, lengkap dengan
jacket tebal, syal, daypack dan perlengkapan lainnya.
Sembari mengambil nafas sejenak saya
memesan secangkir teh panas untuk menghangatkan badan pagi ini.
“Sebentar lagi aja mbak naiknya, angin
masih kenceng dan cuaca kayaknya juga ga bersahabat,” nasehat salah seorang tour guide setempat yang sedang menunggu
rombongannya datang.
“Kemungkinan dapat sunrise ga ya mas?”
“Belom tahu, karena cuaca di gunung
susah diprediksi. Bisa jadi nanti kabutnya hilang dapat.”
“Oke.” Aku sepenuhnya pasrah toh sudah
berusaha sejauh ini.
Jelang seruput teh terakhir abis aku
segera pamit untuk langsung beranjak naik. Mending nunggu di atas dari pada di
sini. Sunrise lover ya begitu, takut
matahari segera muncul.
“Hati-hati mba. Anginnya kenceng, kalo
hujan liat-liat berlindung di bawah pohon,” ucap Pak Dadang.
“Oke pak. Sy juga bawa jas hujan juga kok.
Tidur yang nyenyak ya, perjalanan kita masih panjang.” Aku berpamitan.
1 dari 3 danau di puncak Kelimutu |
Dari
pos terakhir ini perjalanan trekking membutuhkan waktu sekitar 20-40 menit
menuju puncak tertinggi Kelimutu. Dari puncak tertinggi tersebutlah keindahan 3
Danau Warna Kelimutu dapat disaksikan dengan sempurna. Treknya tidak terlalu
sulit. Kontur jalanannya bahkan sudah dibeton, jadi meskipun hujan masih aman
untuk dilalui. Bahkan yang membuatku salut, sepanjang perjalalan ke atas sudah
ada penerangan lampu listrik yang berdiri di tiang-tiang dengan jarak yang
sudah disesuaikan. Jadi meski tidak bawa senter, tidak perlu meraba-raba
jalanan untuk sampai ke atas. Katanya, penerangan lampu listrik ini sudah ada
sejak akhir tahun lalu untuk memudahkan para pengunjung sunrise hunters seperti saya ini. Salute. Tidak hanya itu infrastruktur lainnya juga sudah
diperbaharui sedemikian rupa sepanjang trek pendakian. Selain ada beberapa
saung/pos untuk istrirahat pemberhentian, toilet-toiletpun dijaga kebersihan
dan ketersediaan airnya. Buktinya, saya sempat berkecak kagum ketika turun
muncak dan kebelet buang air, toiletnya bersih tidak seperti toilet umum kebanyakan.
Salute (again).
Penerangan listrik disepanjang trek pendakian |
Sesekali
rintikan air hujan dari pepohonan berjatuhan membasahi badan. Ya Allah, please
jangan hujan. Please dapat sunrise. Sepanjang perjalanan ke puncak tak henti
mulut ini komat-kamit meminta belas kasih Tuhan. Please Ya Allah sudah sampai
ini. Tapi ya, sejauh-jauh usaha manusia meminta tetap kuasa hanya ada pada-Nya.
Setelah berlelah-lelah sampai di puncak sebagai orang perdana pagi ini, kabut
tampaknya tetap enggan untuk beranjak. Gila
cooy… belum ada sama sekali pengunjung yang lain, terlalu antusias
sepertinya saya ini. Masih tetap terus optimis dan berdo’a, perlahan
pengunjung-pengunjung lain berdatangan tapi tak begitu ramai. Mereka juga sama
bersabarnya seperti saya menanti sang surya terbit menyinari Kelimutu. 30
menit, 45 menit, 60 menit tak tampak juga cahaya matahari itu mengusir kabut.
Malah angin tetap saja terus berembus kencang. Saking kencangnya kala saya
berdiri dari arah berlawaran, bisa-bisa dibuat terbang oleh kekuatannya.
“Masih sabar ya mas nunggu?” aku
bertanya cemas pada adik Pak Dadang.
“Iya mba.”
“Jauh-jauh sampai sini masa ga bisa
liat kawahnya,” cemasku.
Perlahan para pengunjung melambaikan
tangan dan turun meninggalkan puncak, sekarang tersisa hanya aku dan 2 orang
turis Malaysia. Duo hijabers dari negeri seberang ini juga sama keukeuh-nya sepertiku. Pokoknya pantang
turun sebelum melihat danau. Ketika cuaca cepat berubah kami berteriak girang
dan langsung mengabadikan moment. Untunglah masih ada temannya di puncak
penantian ini.
Hello new friends |
Sejatinya
Taman Nasional Kelimutu berasal dari kata “Keli” yang berarti gunung dan “Mutu”
yang berarti mendidih. Danau yang terletak di kawasan yang sudah ditetapkan
sebagai kawasan konservasi alam nasional sejak tahun 1992 mempunyai tiga danau
yang bertengger di atasnya. Ketiga danau tersebut adalah Tiwu Ata Polo (TAP),
Tiwu Nua Moori Koohi Fah (Tin) dan Tiwu Ata Mbupu (TAM) yang selalu
berubah-rubah warnanya. Menurut para peneliti perubahan warna air danau
tersebut disebabkan oleh aktivitas gunung api, pantulan warna dinding
danau/dasar danau atau secara ilmiahnya dikarenakan pembiasan cahaya matahari.
Namun bagaimanapun penelitian mengatakan, masyarakat sekitar masih tetap
mempercayai hal tersebut terjadi karena kesakralan danau ini yang didiami oleh
para arwah yang sudah meninggal dunia. Bahkan berbagai macam tradisi masih
terus dipertahankan untuk tetap menghormati tempat ini salah satunya ritual Pati Ka yang dilangsungkan oleh etnis Lio setiap tahunnya.
Tosca pekat nan cantik |
Tiada
penantian yang sia-sia. Segala sesuatunya pasti berbuah manis.
Tepat sekali ungkapan tersebut. Alhamdulillah setelah menunggu sekian
lama, matahari tampak jua menyinari Kelimutu, kabut pelan-pelan turun dan
sekeliling tampak jelas sekarang. Keindahan 3 Danau Warna membius mata. Masya Allah ini dia yang diidam-idam,
ini dia pujangga yang ditunggu-tunggu. Sekeliling tampak mempesona, bukit-bukit
Kelimutu yang berwarna kapur kemerah-merahan dan warna danau Kelimutu di ujung
sana. Satunya berwarna hitam coca-cola,
dua lagi berwarna hijau tosca. Finally
Ya Allah, I’m here… Sampai juga
menyaksikan kembali salah satu destinasi impian yang sudah lama diidam.
Thank God for everything.
What’s Next?
Mari bermimpi lagi untuk destinasi uang kertas lainnya.
Focus - Focus - Focus (ke danau yang di belakang) |
0 Comments