Kampung Adat Wologai |
Story sebelumnya di sini
Turun
dari Kelimutu tanpa berlama-lama perjalanan dilanjutkan ke destinasi
berikutnya. Target siang ini sudah harus sampai di Kota Ende dengan tujuan
terakhir Rumah Pengasingan Bung Karno.
Sampai
di mobil Pak Dadang masih terlelap dalam mimpinya. Setelah nyawanya ngumpul
barulah perjalanan dilanjutkan. Kali ini giliran aku yang balas dendam. Sampai
jok mobil langsung lep, tidur. Tiga hari belakangan ini tidurku selalu kurang
paling banter 2-3 jam-an. Di mulai karena flight dini hari dari Jakarta ke
Kupang, dilanjutkan juga flight pagi Kupang-Ende dan malam tadi terakhir demi
mengejar sunrise Kelimutu.
Sesuai kesepakatan awal, selepas dari
Danau Tiga Warna ada beberapa objek lain yang menjadi tujuanku. The next is a waterfall. Turun dari
Kelimutu mobil berhenti sejenak. Aku turun dan menghirup udara hijau pagi ini
sembari menatap ke bawah sana, Wolowaru. Hello
Flores, I’m here.
Perjalan turun dari Kelimutu |
Dari Danau Tiga Warna dan hanya sekitar 400 meter dari Desa Moni dengan jarak tempuh kurang lebih 15 menit ada satu air terjun yang membuat saya tergerak untuk mendatanginya. Ialah air terjun Murundao. Air terjun yang tidak terlalu tinggi ini, hanya memiliki ketinggian ± 15 meter, sangat disayangkan jika sudah berada di sini tidak sekalian untuk didatangi. Persisnya terletak di Desa Koanara. Dengan hanya berjalan kaki sekitar 200 meter dari jalan raya, terpaan air terjun ini sudah dapat dirasakan.
Berada di tengah-tengah lembah bukit air
terjun ini mengingatkanku pada Air Terjun Madakaripura di Jawa Timur, bedanya
ini terlalu kecil (tidak begitu tinggi) dan perjuangan mencapainya tidak
seberat trekking Madakaripura. Katanya kalau lagi musim panas yang luar biasa,
bule-bule biasanya sering mandi nyebur begitu saja di air terjun ini sembari
membasahi badan persis di bawah air terjun. Namun sayang, pada saat saya
berkunjung di sini kondisi alam Flores sedang hujan, jadilah airnya berwarna
kecoklatan dan intensitas air terjunnya pun lumayan besar dan ganas. Ditambah
lagi tidak ada pengunjung lain di sini selain saya dan Pak Dadang. Cukup
mengambil beberapa poto dan merasakan sensasi segar dan dinginnya air ini saya
segera memutuskan untuk bertolak balik dan menuju destinasi berikutnya.
Kembali
ke Desa Moni, desa asri ini memang sejuk mengademkan mata. Memang sangat tepat
jikanya kalau punya waktu lebih untuk menginap di sini. Jajaran penginapan
mulai dari penginapan kelas biasa sampai setara cottage berpemandangan alam
bebas dan view hijau di depan mata banyak berjejer di sepanjang jalan.
∞∞∞
Kali ini aku benar-benar memasrahkan
perjalanan pada Pak Dadang. Selain karena kantuk yang luar biasa sebenarnya
melihat trek jalan pulang yang berliku dengan tebing sebelah kiri dan jurang
sebelah kanan membuat jantungku dag-dig-dug tak karuan. Semalam yang tampak
gelap kini tampak nyata di depan mata. Batu-batu besar yang menempel di dinding
sebelah kiri membuatku ngeri. Ya Allah, bagaimana nasib kalau ada longsor atau
curah hujan yang begitu besar tentulah batu-batu itu akan menggelinding ke
jalanan. Bagaimana kalau saat itu mobilku yang lewat? Kengerian-kengerian itu
membuatku merinding. Luar biasa. Ini perjalanan yang sungguh luar biasa. Beberapa
saat setelahnya aku menyerah, “Bangunkan ya Pak kalau sudah sampai Kampung
Adat.” Belum mendengar jawaban dari Pak Dadang aku sudah terlelap dalam
buayaian mimpi bersama alam Flores.
Rintik hujan kini hanya tinggal di dedaunan. Jatuh dan membasahi rerumputan dan tanah. Langit biru masih bersembunyi di putihnya awan. Matahari juga tak bergidik tegak meski siang sudah hampir menjelang. Entah berapa lama perjalanan tadi dari Air Terjun Murundao hingga sampir akhirnya mobil parkir di parkiran masuk Kampung Adat Wologai. Sama seperti tadi, sepi tiada pengunjung lain. Seorang bapak-bapak bersarung lagak menjajakan villa di puncak mengarahkan mobil, menyuruh berhenti dan menunggu kami ke luar.
“Pagi pak,” sapaku ramah padanya. “Mau
ke Kampung Adat,” lanjutku mengarah ke rumah kerucut di balik pohon beringin
sambil sedikit membungkukkan badan.
“Isi tamu dulu ya.” Dia berlalu
mengarahkan ke sebuah rumah kecil di bawah jalan bertuliskan, tamu.
Aku pikir bakal disambut bak adat-adat
yang sudah berlaku, entah itu tari-tarian atau sambutan semburan semacamnya
karena di depan rumah lapor tamu ada beberapa orang penduduk asli yang melihat
dan menanti kedatanganku.
“Dari Jakarta Pak,” terangku ketika
menulis daftar hadir tamu di bawah remang-remang atap rumah. Setelah mengisi
buku tamu 2 orang bapak yang tadi menyambutku diam tak bersuara.
“Lalu pak, setelah isi buku tamu saya
bisa lihat-lihat rumah adatnya?” tanyaku tak sabar.
“Oh iya, retribusi seikhlasnya ya,”
jawab bapak yang satu sambil menyodorkan kotak.
“Ada hal-hal yang perlu diperhatikan
ga Pak selama saya berkeliling nantinya?” aku lanjut bertanya. Namanya juga mau
berkunjung ke rumah orang tentu ada barangkali hal-hal yang perlu aku jauhi,
tidak boleh dilakukan atau tidak boleh berkata apa. Pengalaman soalnya, kalau
tidak ditanya demikian takut sedang asyik jepret-jepret malah disuruh hapus
poto atau memory di ambil. Menghindari itu tentu aku bertanya apalagi aku masih
kurang informasi akan kawasan kampung adat ini.
Atap rumah yang baru berdiri |
Kebanyakan orang bisa di bilang rata-rata pasti mengenal Waerebo. Karena Waerebo memang kampung adat yang sangat tersohor di Flores. Tapi ternyata tidak hanya Waerebo saja, masih banyak rumah adat lainnya yang berbentuk kerucut salah satunya Wologai. Jika berkunjung ke Danau Kelimutu, sempatkanlah untuk juga bertandang ke mari. Berada di ketinggian 1.045 Wologai ini merupakan salah satu kampung adat yang masih tersisa di Flores yang konon katanya sudah berusia 800 tahun-an.
Menjelang
masuk kawasan Kampung Adat ada sebuah pohon beringin besar di sebelah kanan,
yang juga konon katanya berusia sama dengan kampung ini yang ditanam oleh leluhur
mereka. Jadi, sebelum masuk kawasan jangan lupa permisi-permisi dulu. Menurut
si bapak yang berada di pusat informasi tadi ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan ketika memasuki kawasan kampung terutama sekali jangan
menginjak/mengelilingi panggung ritual. Hindari. Berpoto sekadarnya saja,
jangan terlalu berlebihan.
Ukiran berbentuk payudara di depan rumah |
Sisa hujan yang membasahi bumi Flores masih melekat di kampung ini. Parahnya reremputan dan tanah alami di kampung ini membuat becek satu-satunya akses jalan untuk keliling kampung. Alhasil kaki harus berjibaku dengan lumpur yang berada di mana-mana.
Selain
arsitektur rumah berbentuk kerucut-seperti kebanyakan rumah adat Flores
lainnya- pembangunan rumah inipun sangat menarik. Tiang bawah yang ditopang
oleh bebatuan ceper, di bawahnya lowong bisa untuk rumah binatang ternak
seperti ayam. Tampaknya beberapa rumah adat yang ada di sini tak begitu terawat/dihuni,
sayapun tak menemui warga sekitar yang bisa diajak bicara perihal kawasan
kampung ini. Makin ke belakang memang ada beberapa rumah yang didiami warga,
salah satunya akhirnya saya bertemu dengan Mama’. Beliau sedang duduk seorang
diri di depan rumahnya melihat gerimis yang kembali datang.
Sayapun mencoba dan meminta izin untuk
menemaninya menghitung gerimis-gerimis yang turun. Dari balik gigi sirihnya dia
berujar kalau di sini hanya tinggal seorang diri, anak-anaknya sudah bekeluarga
dan menetap bersama keluarganya di luar kampung. Tinggallah si Mama’ seorang
diri menghabiskan masa tuanya.
“Tapi sering anak Mama datang
berkunjung?”
“Ya kadang ada … kadang tidak,”
lirihnya dengan mata tertuju ke depan.
Gerimis juga masih mewarnai cerita
kami di pagi menjelang siang ini. Si Mama’ pun sesekali tertawa menampakkan
giginya ketika aku ajak selfie.
Menurut penuturan si Mama’, kampung adat mereka ini ramenya nanti pada saat ada
ritual adat seperti Ta’u Nggua.
“Nanti September datang ke sini lagi,”
ucap si Mama’.
Ah, kalau sudah begini aku jadi lupa
waktu, ingin terus berlama-lama mengobrol dengan si Mama’. Aku membayangkan
menjadi tua renta seperti beliau, ditinggal jauh oleh anak-anak yang sudah
sibuk dengan keluarga mereka masing-masing. Jauh dari lubuk hatiku, aku yakin
kalau anak-anak si Mama’ juga risau meninggalkan dia seorang diri. Tapi apa
daya karena kebanyakan orang tua, tidak pernah mau meninggalkan tanah kelahiran
mereka, meninggalkan rumah yang telah menggadangkan mereka, meninggalkan
kenangan yang banyak terukir di rumah mereka. Harus seperti itukah ketika nanti
tua datang menjelang?
Bersama mama |
Kecepatan
roda empat kembali membelah jalanan. Selepas dari Kampung Adat Wologai
perjalanan dilanjutkan kembali ke Kota Ende. Masih ada beberapa spot lagi yang
ingin saya kejar, salah satunya adalah Situs Rumah Pengasingan Bung Karno,
presiden pertama Republik Indonesia. Tidak afdol rasanya jika sudah berkunjung
ke Ende tapi tidak mampir ke salah satu saksi sejarah yang terletak di jalan
perwira ini. Disepanjang perjalanan kembali aku melanjutkan tidur. Tadinya
ingin tetap terus terjaga apalagi katanya disepanjang perjalanan akan
disuguhkan pemandangan yang tak kalah luar biasanya. Tapi apa di kata, mata
tidak dapat diajak kerja sama. Ngantuk luar biasa.
Rumah Pengasingan Bung Karno begitulah
namanya terkenal. Jika ditanya apa yang worth
untuk dikunjungi, hal pertama yang akan diberi tahu masyarakat sekitar adalah
Rumah Pengasingan Bung Karno, karena rata-rata objek yang satu ini sangat
melekat pada masyarakat dibandingkan dengan Gunung Meja atau pantai-pantai lainnya
yang berada di Kota Ende, ibukota Kabupatan Ende. Tentu saja karena rumah ini menjadi saksi sejarah
pembuangan Pak Soekarno di bumi Flores pada tahun 1934. Selama empat tahun Bung
Karno dibuang oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dipaksa harus lepas dari
aktivitasnya seperti biasa. Bung Karno tetap harus menyambung hidup di Ende,
meski tidak bebas seperti hari-hari yang biasa dia laluinya yang penuh dengan
keramain.
Si saksi sejarah itu |
Sebenarnya tidak hanya Rumah Pengasingan Bung Karno yang dapat ditengok ketika berada di Ende. Ada satu spot lagi yang identik dengan Bung Karno yaitu Taman Renungan Bung Karno. Sebuah taman di Lapangan Pancasila yang terdapat patung Sukarno seolah sedang merenung di bawah pohon sukun.
Sejatinya Situs Rumah Pengasingan Bung
Karno ini masih terawat dengan baik. Sayang ketika saya sampai situs ini sedang
ditutup karena bertepatan dengan pelaksanaan ibadah sholat jum’at. Saya hanya
dapat melihat sekilas dari luar bangunan putih yang masih asri ini. Bangunan yang
sangat melekat dengan sejarah. Semoga kehadirannya selalu mengingatkan kita
masyarakat Indonesia untuk tidak pernah melupakan sejarah. Karena bagaimanapun
Indonesia sampai seperti saat sekarang ini adalah berkat para pejuang dan
orang-orang terdahulu yang telah bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Selalu ada pejuang yang mati-matian untuk mewujudkan Indonesia
menjadi negera merdeka, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan sejarah
selalu berperan penting di dalamnya. Mengingatkan kita untuk selalu menghormati
dan menghargai jasa para pahlawan kemerdekaan. Dan sejarahlah yang juga ikut
berperan penting di dalamnya.
The end