Ini adalah
kunjungan saya yang kesekian kalinya ke Garut. Hal yang pertama melekat di saya
ketika menyebut Garut adalah Gunung Papandayan. Ya, sama halnya dengan para
pendaki pemula diluaran sana, gunung wajib yang pertama kali didaki adalah
Papandayan. Treknya gampang, tidak terlalu tinggi dan tentu bisa menjadi ajang
uji nyali pertama untuk bergelut di atas ketinggian (puncak gunung).
Selain Papandayan,
tentu saja makanannya. Dodol Garut. Lucunya saya mengenal dodol garut ini
ketika dulu belum pernah sama sekali menginjakkan kaki di pulau Jawa. Sebagai
anak minang tulen, ketika masih bocah, sangat familiar sekali meminta oleh-oleh
dodol ketika ada yang berangkat ke Jakarta. Ya, mohon maaf sekali Garut, di
jaman saya-jaman masih bocah ingusan- Dodol Garut terkenalnya sebagai oleh-oleh
khas Jakarta. Tidak afdol rasanya kalau tidak membawa oleh-oleh dodol ketika
dari Jakarta. Dodol Picnic dengan bungkusan berwarna merah muda (pink). Bahkan,
sampai sekarang jikalau ada keluarga yang datang menengok ke Jakarta, tidak
lupa saya selipkan oleh-oleh Dodol Garut di dalamnya.
Selain Dodol Garut,
belakangan ini saya malah dikenalkan dengan jajanan baru khas Garut. Efek
berteman dengan anak Garut yang dua minggu sekali selalu mudik ke Garut, yang
selalu kangen kampung halamannya dan balik-balik membawa bekal oleh-oleh. Tahu
kalau saya adalah seorang kerupuk lover
dia membekali oleh-oleh yang bernama Dorokdok. Awalnya saya berkilah, “Ya ini
mah di kampung gue juga ada. Namanya Karupuak Jangek.” Ternyata setelah dicoba
ada cita rasa tersendiri pada Dorokdok. Meski sesama kerupuk kulit namun
ketajaman rasa dan gurihnya memang beda. Kerupuk kulit karupuak jangek khas
minang menurut saya lebih tebal dari segi komposisi dan tentu saja rasa yang
melekat sedangkan dorokdok lebih halus, lembut dan tipis bumbu. Intinya mah ya
sesama kerupuk, yang penting bisa menjadi teman makan nasi dalam kriyuk-kriyuk
ketika digigit.
Oke, cukup tiga
kilas intro di atas sebagai pembuka cerita Garut kali ini.
---
Beberapa minggu
setelah mudik lebaran 2017 saya mendapat tawaran untuk nge-trip ke Garut
(lagi). Sebagai ‘wanita murahan’ yang selalu tergoda ajakan jalan-jalan, tanpa
pikir panjang langsung mengiyakan. Padahal badan baru saja habis rontok ketika
dua minggu di kampung. Tapi kalau sudah yang namanya jalan-jalan, mau badan
rontok, kantong kering, yang penting mah jalan. Itu urusan kesekian yang nanti
bisa dikondisikan.
Ajakan teman
tersebut sebenarnya hanya ke satu destinasi yaitu Puncak Guha. Berhubung
berangkatnya harus minggu pagi jam 4, maka dari itu mau tidak mau dari Jakarta
harus ke Garutnya satu hari sebelumnya.
---
Sabtu,
29 Juli 2017
Welcome back
Kampung Rambutan.
Sudah lama rasanya
saya tidak bersinggungan dengan semi terminal yang satu ini. Entahlah, apa
status traveling sudah naik kasta atau memang sekarang inginnya jalan-jalannya
yang jauh naik pesawat atau minimal naik kereta. Rindu juga ternyata dengan
masa-masa itu. Masa-masa di mana tidur ngemper di terminal, stasiun, pelabuhan
dan kawan-kawannya. Oke, someday I’ll
back again to the that moments.
Bus Primajasa yang
membawa ke Garut berangkat sekitar jam 7 pagi. Alhamdulillah perjalanan lancar dan sampai di terimal Garut jam 12
siang. Tadinya mau bersilaturahmi terlebih dahulu ke teman yang mengenalkan
saya pada Dorokdok. Tapi sayang dia ada urusan mendadak ke Bandung. Tidak
kehilangan akal, akhirnya destinasi tambahan diputuskan sebelum besok berangkat
ke Puncak Guha di Garut Selatan.
Talaga
Bodas
Bu Novi, teman yang
meracuni saya, mengajak untuk putar arah terlebih dahulu ke Talaga Bodas yang
terletak di Desa Sukamenak, Wanaraja, Garut. Lagi-lagi sebagai ‘wanita murahan’
jalan-jalan saya rela diajak ke mana saja.
Oke mbah google,
“Talaga Bodas”.
Sembari menikmati
bakso dan es campur tomat di terminal, saya pun memanfaatkan waktu untuk
browsing terlebih dahulu apa keunggulan Talaga Bodas. Bu Novi pun tanya-tanya
ibu penjual bakso dan es campur akses menuju ke sana dalam bahasa sunda. Overall sih, Talaga Bodas hampir-hampir
sama dengan Kawah Putih Ciwidey. Sama-sama berwarna toska, sama-sama berkabut
dan tentunya sama-sama kawah dan juga sama-sama masih berada di provinsi yang
sama, Jawa Barat.
Singkat cerita dari
terminal perjalanan dilanjutkan dengan menaiki sebuah angkot. Tinggal menyebut
clue saja, mau ke Talaga Bodas, dan pak sopir akan menurunkan tepat di sebuah
pertigaan.
Dalam perjalanan
sebelum sampai pertigaan sempat sesekali ngobrol-ngobrol dengan seorang
penumpang bapak-bapak. “Berani amat, ujan-ujan gini ke sana. Saya aja ga
berani. Jalanannya parah loh.” Entah itu ejekan atau nasihat, setelah beliau
turun kalimat itu juga ikut berlalu. Gaya bapaknya tidak meyakinkan. Bismillah saja,
lanjut terus.
Dari pertigaan
tersebut ada pangkalan ojek diseberang. Tinggal nyebrang jalan dan sila
negosiasi ojek diluncurkan. Triknya, negosiasi lebih ampuh menggunakan bahasa
sunda jadi tidak ketara wisatawan jauh dari luar kota. Urusan seperti ini, Teh
Novi pakarnya. Make sure untuk
diantar sampai ke gerbang pintu masuk Talaga Bodas dan ditunggu sampai
eksplorasi berakhir di atas sana.
Sebatang pohon daunnya rimbun |
Cusss… Dua
kendaranan roda dua pun meluncur membelah perkampungan mengantar dua penumpang
yang penasaran akan Talaga Bodas.
Bagaimana treknya?
Luar biasa. Panta*
harus bisa mengkondisikan jarak tempuh yang lebih dari 15KM dengan kontur
jalanan lika-liku dan tanjakan. Awalnya biasa-biasa saja apalagi aspal jalanan
sudah sangat cukup bagus di sini. Tapi harus tetap hati-hati, jaga hati dan
jaga diri. Terutama kalau berada di belakang mobil plat B yang juga sedang
berusaha naik. Belum tentu mereka kenal trek di sini seperti apa. Jangan sampai
kisah seperti saya terjadi. Melihat gerak-gerik mobil tersebut yang
ndut-ndut-an saat tikungan dan tanjakan saya sudah curiga, jangan-jangan sang
driver terlalu memaksakan diri dengan medan seperti ini. Ya benar saja, ditikungan
tanjakan berikutnya mobilnya berhenti mendadak dan saya persis di belakang
mereka. Untung si bapak ojek yang saya tumpangi sudah lihai dengan kasus
seperti ini. Sreeet…sreeet… si bapak langsung putar stang ke kanan dan menyalip
mobilio putih itu. Untung saja tidak ada kendaraan dari arah berlawanan. Tuhan
masih sayang sama gadis single satu ini.
Tidak itu saja, setelah pertigaan
Patrol-pertigaan terakhir sebelum mencapai gerbang Talaga Bodas, kembali dilema
harus dihadapi. Jalanan berkabut dan aspal sudah tidak mendominasi lagi.
Sesekali rintik-rintik hujan juga ikut menyirami hati ini. Jarak pandang
terbatas dalam kabut yang tak terbendung. Kali ini tikungan dalam jalanan licin
tanpa aspal diantara kabut hutan belantara. Kadang becek, kadang berbatu,
kadang menerka-nerka dalam genangan air. Ini baru naiknya lo, tak hitung juga
sesekali roda motor tergelincir dan kaki sudah siap menahan diri. Duuh gusti,
please selamatkanlah kami. Saya jadi teringat omongan si bapak di angkot tadi.
Oh, ini toh mungkin yang di maksud.
“Bagaimana?
Lanjut?”
“Lanjut pak,
pantang mundur pokona mah.” Pura-pura semangat masih membara padahal hati sudah
deg-degan, “tapi tetap pelan-pelan saja ya pak, licin soalnya.”
Dengan kondisi
seperti itu mulut tak hentinya komat-kamit memanjatkan do’a. Nah, salah satu
serunya traveling dalam keadaan seperti ini, hati tak pernah lupa sama Tuhan,
do’a selalu tak lepas-lepas di haturkan. So, bisa ditarik kesimpulan, kalau traveling makin mendekatkan kita sama
Sang Pencipta.
Alhamdulillah, perjalanan panjang tersebut
dibayar tunai dengan keselamatan sampai gerbang Talaga Bodas. Tapi sayang kabut
tak kunjung berlalu. Rintik hujan juga terus berguyuran.
Memang cuaca di
Talaga Bodas tidak dapat diprediksi meski katanya berkunjung di musim kemarau
pun, kalau tidak berjodoh bakal mendapatkan hal yang sama, kabut. Tuh kan,
memang di mana-mana mencari jodoh itu susah.
Seperti slogan di
awal, pantang mundur, sembari menunggu kabut berkurang dan rintik hujan reda
saya dan bu Novi menghangatkan tubuh terlebih dahulu di sebuah warung sambil
mencicipi jahe hangat dan gehu, toge tahu. Jajalan ala Garut. Nah kan, tambah
satu lagi ilmu jajajan garut saya setelah dodol, dorokdok dan sekarang gehu.
Kabut tak kunjung pergi |
Selangkah lagi
menuju Talaga Bodas. Dari gerbang bisa dilanjutkan dengan dua pilihan, jalan
kaki atau naik ojek (lagi). Ojek khusus yang tersedia dari gerbang Talaga.
Biayanya cukup 20rb saja PP gerbang-kawasan inti-gerbang.
Lalu apa saja yang
bisa dinikmati di Kawasan Talaga Bodas ini?
Tentu saja
pemandangan indah telaganya yang berwarna toska. Selain itu ada juga tempat
pemandian air panas. Jika membawa baju salin dan memungkinkan, bisalah terlebih
dahulu berendam sesaat di kawasan ini. Atau bagi yang mau nge-camp juga
tersedia camp ground nya.
“Itu dia kawasan
nge-camp nya,” unjuk abang ojek yang saya tumpangi. Kawasan yang dia tunjuk tak
tampak jelas. Hanya kabut sejauh mata memandang.
Sedikit kecewa
sebenarnya, pemandangan asli tak dapat saya nikmati di sini. Semuanya berkabut.
Kecuali hati sih yang masih terang benderang. Tapi setidaknya saya sudah sampai
di titik ini, menginjakkan kaki di Talaga Bodas. Bersabarlah, sesekali kabut
akan berlalu dan toska air kawah tampak malu-malu akan muncul. Jangan lupa,
langsung jepret ketika mendapat moment ini. Jangan tunggu-tunggu, karena
hitungan detik saja kabut bisa kembali menutupi kawasan Talaga.
Oke enough. Setidaknya rasa penasaran saya
akan telaga ini sudah terkuak. Perjalanan masih panjang ke bawah sana.
Berkecimpung lagi dalam turunan tanpa henti bersama bapak ojek yang setia menanti.
Sila cek video medan Talaga Bodas di sini :
Sila cek video medan Talaga Bodas di sini :
Lanjut Puncak Guha yuuk...