1000 Anak Tangga Dari Kampung Naga Ke Galunggung
Juli 14, 2016
Menuju ke pusat inti kawasan
perkampungan, setiap tamu akan disuguhi terlebih dahulu dengan 439 anak tangga
hingga mencapai sisi datar persawahan di bawah sana. “Kalau di sini menuruni
tangga dulu, kalau nanti di Galunggung baru mendaki (tangga juga),” jelas Kang
Tatang sambil tetap berceloteh disepanjang perjalanan. “Entah dari mana asal
mula penamaan Kampung Naga, tapi kalau dilihat dari bentuk tangga yang kita
turuni, berliku seperti Naga,” tambah bapak berpakaian rapi serba hitam yang menemani
sore ini.
Mencapai inti dari kawasan
kampung, kami bergegas untuk makin lebih dekat bercengkrama dengan penduduk
lokal. Suara alam, kicauan burung-burung dan aliran air yang mengalir dengan
tenang menandakan senja akan segera datang. Warga Kampung Naga masih ada yang
bersantai ria di depan pintu rumah mereka. Mengobrol dengan tetangga depan
rumah ataupun masih menatap langit yang akan beranjak menuju gelap.
Bentuk rumah di perkampungan ini
adalah rumah panggung dengan beratapkan ijuk atau semacamnya. Tidak ada
penerangan listrik di sini. Semuanya memakai penerangan tradisional atau lampu
strongkeng yang dipompa menjelang malam. Masyarkat Kampung Naga masih membuka
tangan untuk segala perubahan yang masuk selagi itu positif dan tidak
mengutak-atik benteng leluhur yang sudah tertanam sejak lama. Apapun perubahan
itu diterima dengan baik dan disikapi dengan bijak. Diapit oleh perwahanan yang
hijau, sungai Ci Wulan (Kali Wulan) yang mengalir dan hutan keramat diseberangnya
membuat Kampung Naga tampak bersemayam elok dalam kultur yang sudah sangat jauh
mereka jaga.
Lelah pun tak tampak dimukanya
meski hari ini sudah kesekian kalinya naik-turun Kp. Naga
Kedekatan masyarakat Kampung Naga
dengan Sang Pencipta pun tidak dapat digoyahkan terutama dalam ajaran islam yang
sudah menjadi darah daging. Sebuah tempat ibadah (saya kurang tahu persis apa
itu mushola atau masjid) terletak di tengah-tengah pemukiman dengan bedug di
depannya. Namun sayang, waktu saya tidak cukup untuk dapat menelisik lebih jauh
kedekatan Allah SWT dalam sudut pandang mereka. Selesai membeli buah tangan
berupa bros, Kang Tatang segera mengajak kami meninggalkan area Kampung Naga.
Senja sudah semakin menutupi lembah. Bedug sudah dipukul beberapa kali,
menandakan waktu sholat maghrib telah tiba dan sayup-sayup adzan maghrib
berkumandang ke seantaro Kampung Naga. Tanpa pengeras suara, bedug yang
dipentung dengan kekentalan tradisinya dan seruan panggilan sholat yang dikumandangkan
menutup perjalanan saya mengenal Kampung Naga di senja ini. Ingin rasanya
mendengarkan adzan maghrib itu berkumandang hingga usai, tapi gelap makin
bergelantung menutupi lembah dan ijuk-ijuk hitam tidak lagi tampak dari
kejauhan. Semua gelap, semua senyap, semua kembali bertafakur dalam kehidupan
masing-masing.
Bedug pengingat mahkluk kepada pencipta-Nya |
Jam 18.30 kami beranjak
meninggalkan Kampung Naga dan segera bergerak ke Gunung Galunggung di desa
Linggajati. Sebelum mencapai pos terakhir kami berhenti sejenak mengisi perut
di Cipasung, menikmati kuliner Tasikmalaya dan menghirup udara malam kota yang
berjulukan Delhi Van Java ini.
Jam 20.30 akhirnya pos terakhir
kami gapai, semua perlengkapan dipersiapkan semaksimal mungkin. Matras, Sleeping
bag dan berbagai perlengkapan lainnya dicek dengan teliti sebelum pendakian
dimulai. Memang ini bukanlah sebuah pendakian yang “berat” tapi tetap saja demi
safety first semua perlengkapan perlu
dipersiapkan secara matang. Apapun bentuk pendakian ataupun jalan-jalannya
janganlah membiasakan untuk mengindahkan hal-hal sepele. Bisa jadi hal sepele
itulah yang akan membawa mudarat panjang selama tapakan kaki bertebaran di muka
bumi ini.
Matahari pagi menyeruak dari peraduannya |
Tiga puluh menit dirasa cukup,
jam 9 malam pun pendakian 620 anak tangga dimulai. Bagi saya pribadi, aktivitas
pendakian memang sangat menarik jika dilakukan di malam hari. Selain tidak
mengetahui beratnya medan yang akan dilalui, pemandangan indah pun sering
tersuguh dengan pesona luar biasa di kejauhan sana. Gemerlap Kota Tasikmalaya
dikejauhan sana, bintang-bintang
di langit dan rembunan dalam kemilaunya selalu menjadi teman setia disetiap
helaan nafas. Begitu juga malam ini, 20 menit menaiki anak tangga tidak membuat
lelah sedikit pun bagi saya. Setiap berhenti saya menatap kebawah dan menikmati
setiap nafas segar di malam ini. Bersyukur, hati kembali terisi dengan
mahakarya tangan Tuhan.
Gunung yang berketinggian 2.167
mdpl ini masih tergolong gunung yang aktif namun tidak pernah sepi pengunjung
terutama di akhir pekan. Selain pendakiannya yang sudah dipermudah dengan
difasilitasi anak tangga, di puncak pun banyak warung-warung makan yang
bertebaran. Untuk lokasi camping, tidak hanya di puncak tetapi di kawah dengan
danau hijau yang cantik juga dapat
menggoda setiap mata. Semua memiliki kelebihan masing-masing. Jika ingin
menikmati sunrise muncul dari balik cakrawalanya, puncaklah tempat terbaik
untuk mendirikan tenda. Namun jika ingin menikmati lebih dekat kecantikan kawah
danaunya turunlah kembali setelah mencapai titik puncak. Bagi kami, para
sunrise lovers tentunya puncak adalah lokasi paling pas membentangkan tenda dan
bercengkrama ria dibawah selimut malam Galunggung.
Selamat Pagi Dunia |
Selamat pagi Galunggung, Selamat
pagi Matahari dan Selamat Pagi kamu yang di sana.
Assalamu’alaikum
dunia….
Mentari menyapa rancak pagi ini
dari balik kalderanya. Tidak salah,
pilihan lokasi camp malam tadi. Dari semua sisi, Galunggung menampakkan
pesonanya. Hutan Ericaceous dan Hutan Montane menjadi perindah dalam kawasan gunung
yang pernah meletus dahsyat pada tahun 1822 ini, yang menyebabkan ribuan nyawa
melayang dan ratusan rumah rusak serta berbagai infrasturktur hancur-lebur.
Puas menikmati dalam berbagai
jepretan dan pose, sarapan pagi pun sudah terhidang dengan lamak di depan mata.
Perut kenyang, hati senang dan saatnya kembali pulang. Rute yang ditempuh
berbeda dari yang semalam. Kali ini jalur turun adalah jalur ala-ala Mahameru.
Jalur turunan pasir yang setidaknya tidak akan membuat dengkul sejajar dengan
kening.
Treking turun ala Mahameru |
Ada satu spot lagi yang bakal
kami tandangi di jam 9 pagi ini. Pemandian Air Panas Cipanas. Niatnya di lokasi
ini saya dan kawan-kawan akan membasuh badan, namun niat itu urung dilaksanakan
karena pengunjung yang membludak. Bertepatan dengan minggu terakhir menjelang
masuknya bulan Suci Ramadhan, berbondong-bondonglah masyarakat Tasik sekitar
menuju pemandian air panas Cipanas dalam kebiasaan yang dominan dilakukan.
Meluapnya kawasan parkir membuat kami kompak menggelengkan kepala “Tidak” untuk
turun dari mobil. Nanti sajalah mandi dilebihkan di rumah makan terdekat
menjelang balik ke Jakarta.
Perut kenyang, hati senang dan saatnya kembali pulang |
Komplit sudah petualangan kali
ini bersama kawan-kawan baru. Dari menjajah sebuah kampung fenomenal hingga
pendakian dan kemping bareng di bawah langit malam. Kebersamaan dalam ilmu baru
yang wajib dibagi dan dikenalkan. Turun naik tangga tidak berarti apa-apa, jika
itu dinikmati dengan cara yang berbeda. Jangankan 100, 300 ataupun 650 anak
tangga. Seribu tangga pun bisa ditaklukkan dengan teman-teman yang riang
gembira dalam kebersamaan yang tidak bisa dibayar dengan apapun juga. Whatever you want to enjoy this nature, just
do it by yourself, by your style and with your happy friends especially.
What’s next guys? |
0 Comments