Pesona Wisata Pulau Lancang Yang Perlu Digebrak
Maret 14, 2016
Pertama kali menginjakkan
kaki di gugusan pulau yang masuk jajaran Kepulauan Seribu ini, ada nuansa
tersendiri yang sangat berbeda dari kebanyakan pulau lainnya yang sudah pernah
saya kunjungi. Aroma turisme ataupun wisatawan tidak tercium sedikitpun ketika
kapal sudah merapat di Dermaga Barat Pulau Lancang. Desakan penumpang pun tidak
sembrawut seperti biasanya, hanya ada beberapa orang penduduk lokal saja yang
menurunkan barang-barang bawaaan mereka dari tanah seberang.
Nama Pulau Lancang memang sangat asing
bagi saya, bahkan ketika saya berujar pada salah seorang teman ingin berkunjung
ke pulau ini, dia malah balik tanya, “Di mana itu? Mau donk di ajak.” Pun
ketika bertanya kepada mbah google, apa sih istimewanya dari pulau yang satu
ini? Lalu apa sih ikonnya yang menarik seperti kebanyakan pulau lainnya di
jajaran Seribu? Apa dia memiliki Jembatan Cinta seperti Tidung? Atau memiliki
pasir pantai seperti Perawan di Pari? Dan yang tidak kalah pentingnya,
bagaimana dengan ekosistem underwaternya? Menarikkah? Masih terjagakah? Begitu
banyak pertanyaan bercabang diotak ketika ajakan ke pulau ini datang.
Namun, mbah google sekalipun tidak
berhasil membuat pertanyaan saya terjawab. Hanya satu klu yang saya dapat,
Jembatan Pelangi. Just it. Setelah
pikir panjang dan makan rayuan para teman dan dengan berat langkah meninggalkan
bangku kuliah, akhirnya saya memutuskan untuk ikut bertandang ke pulau yang
masuk kelurahan Pulau Pari ini bersama dua orang guru Biologi dari sekolah dan
tiga orang teman lainnya. Tujuan utama tentunya lebih menelisik jauh tentang
pulau ini dan menyapa ekosistem bawah lautnya serta melengkapi informasi yang
belum memuaskan saya.
Jalanan Dermaga Barat Lancang Besar |
Ada satu hal lagi yang
menjadi tanda tanya besar bagi saya pribadi, yaitu keberangkatan dari dermaga
yang baru pertama kali saya dengar, Dermaga Rawa Saban. Dermaga Muara Angke,
Muara Kamal adalah dua dermaga yang terbilang sudah sering hilir mudik saya
datangi. Menuju Pulau Pari, Pulau Tidung, Pramuka, Harapan, Panggang bergerak
kapal dari sini sedangkan Pulau Onrust, Kelor dan Cipir bertolak kapal dari
Muara Kamal dan tidak ketinggalan Karangantu menjadi tempat merapatnya kapal ke
Pulau Tunda yang terakhir saya kunjungi. Namun, Rawa Saban adalah kali pertama
bagi saya dan langsung memberikan citra yang jauh berbeda dari dermaga lainnya.
Terletak di Cituis Tangerang tentulah menjadi akses terdekat dari keberangkatan
saya dan tim yang berdomisili di BSD-Tangerang Selatan. Dermaga yang satu ini tergolong
cukup rapi dan bersih meski tidak terlepas dari bau amis berbagai macam ikan
yang tergeletak di sebelah kiri dermaga.
Suasana pagi hari Dermaga Rawa Saban |
Jam 10 pagi ini juga menjadi rutinitas rutin yang dilakoni oleh nelayan dan warga sekitar, transaksi jual-beli hasil laut. Ada satu hal yang sangat menarik dan menyita perhatian saya ketika sampai ke Tempat Pelelangan Ikan Cituis Kp. Cituis Desa Suryabahari Kec. Pakuhaji Kab. Tangerang ini, yaitu pelelangan ikan dengan teknik sorak suara dengan microfon khusus menggunakan dendangan khas si tukang lelang. “Lima belas rebu, tujuh belas rebu, dua puluh satu rebu, dua puluh lima rebuuuuuuu…” begitu seterusnya dendangan si tukang lelang dengan cekatan memperhatikan gerak jari tangan para si pembeli. Unik memang, sistem jual beli yang dilakoni di sini. Namun, sedikit sesal yang saya rasa ketika salah seorang guru di hari kepulangan ingin ikut berpartisipasi, ditolak mentah-mentah pun ketika deal dengan nelayan sudah di depan mata, para pelaku tertentu lelangan ini tidak membiarkan ‘orang luar’ ikut andil sekali pun bertransaksi secara langsung dengan nelayan yang baru akan menyenderkan hasil tangkapan mereka di tempat ini. Semua punya metode, semua punya aturan tersendiri, meski terkadang menyesakkan mereka kalangan bawah yang berusaha beradu nyawa di lautan lepas demi menutupi kebutuhan keluarga.
Hasil laut yang siap untuk dilelang |
Keberangkatan kapal ke Pulau Lancang baru akan berlayar di jam 12 siang nanti. Sembari waktu yang ada selain dapat menyaksikan kesibukan datar di area dermaga, saya dan teman-teman mengisi perut terlebih dahulu di sebuah warteg dekat kapal bersandar. Kapal terakhir dari Pulau Lancang adalah jam 10 pagi dan kapal ini akan kembali lagi jam 12 siang ke Pulau Lancang. Menyebrang dari Rawa Saban ke Pulau Lancang hanya membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit saja. Diwaktu jeda yang sedikit itulah dimanfaatkan oleh warga pulau untuk berbelanja terutama yang ikut penyebrangan di pagi hari. Mereka melengkapi kebutuhan sehari-hari di pasar Kp. Melayu, Pakuhaji, Mauk bahkan Cengkareng untuk berbelanja bahan pokok maupun sandang seperti pakaian.
Di bawah terik jam 12 siang kami sudah berada di dalam kapal kecil yang penuh oleh dus-dus belanjaan warga, berbagai macam sayuran, sepeda motor di depan kemudi dan hanya hitungan jari penumpang. Lagi-lagi ini sangat membedakaan dari penyebrangan saya yang biasanya (padat penumpang) terutama wisatawan. Ini pun hari sabtu, weekend, tapi tampaknya hanya kami si pendatang berlogo–wisatawan, dua orang koko koko cina dengan pancingannya dan selebihnya adalah warga setempat. Tepat jam 12.15 kapal segera bergeser menuju lautan dan jam 12.30 siap mengantar ke Pulau Lancang.
Sebagian besar muatan kapal diisi barang belanjaan warga |
13.00 selamat siang Pulau Lancang |
Apa saja yang membuat hati
saya terpikat dengan pulau ini?
Tatanan pulaunya yang begitu rapi dan apik
dipandang mata membuat saya langsung jatuh cinta akan keindahannya. Pulau yang
terpecah menjadi dua ; Pulau Lancang Besar dan Pulau Lancang Kecil memberikan dua perbedaan yang
tampak jelas. Pulau Lancang Besar yang menjadi pusat pemukiman warga sudah hampir
memiliki semua fasilitas yang memadai, seperti gedung pendidikan dari tingkat
TK sampai dengan SMP, tidak ketinggalan juga fasilitas puskesmas dua lantai pun
dengan gagah menyambut disepanjang perjalanan menuju homestay. Semua
infrasturktur ini tentunya juga didukung oleh tatanan jalan sepanjang pulau yang
tertata, conblock rapi di sepanjang jalan utama dan jejeran tong sampah yang
berdiri menunggu muatannya. Semua tampak apik di mata saya.
Berbanding terbalik dari
pulau sebelahnya, Pulau Lancang Kecil sudah menjadi bagian yang lain. Pulau
yang tak berpenduduk ini sudah menjadi milik pribadi yang katanya sedang dalam
proses akan dibangun villa atau semacam resort nantinya.
Conblock rapi di sepanjang jalan utama |
Setelah merapat di
homestay, sholat dzuhur, santap siang ikan asin, kepiting, sop dan sambal
saatnya atraksi bawah laut dilaksanakan. Makan siang sempat menjadi kendala
perut begah pada kami. Biota laut ini menjadi menu lamak siang yang membuat
gerak lambat menuju dermaga. Jam 2.30 baru saatnya bersiap untuk menuju Pulau
Lancang Kecil, menyapa keelokan alam bawah laut Pulau Lancang.
Fasilitas kesehatan yang dilengkapi pendingin ruangan |
Sebenarnya perjalanan ke Pulau Lancang ini
adalah sebuah misi dari jajaran guru Biologi di sekolah untuk melengkapi
pembelajaran mereka di bangku pendidikan. Sedangkan saya hanya pelengkap dalam
perjalanan ini tapi tentunya keingintahuan yang kuat akan keindahan bawah laut
Pulau Lancang.
Kapal merapat di spot terdekat dari Pulau
Lancang Kecil, di kedangkalan setinggi dada orang dewasa. “Di sini bagus
terumbu karang dan biodata lautnya,” ujar Pak Marzuki selaku guide kali ini.
Saya tidak sabar segera berkecimpung di dalam laut.
Santap siang yang menggugah selera |
Menikmati ketenangan sembari snorkling |
Tidak sedikitpun menyia-nyiakan kesempatan, Pulau Lancang Kecil pun saya
susuri sore itu. Meski disepanjang pantainya dipasang jaring untuk menghalangi berlabuhnya
kapal-kapal, kami bisa menyelusup dari pinggir-pinggir pembatas. Saya ingin sedikit
mengenalnya lebih dekat. Benar saja pulau ini dilirik, sepanjang garis
pantainya menyuguhkan keindahan yang luar biasa, pasir putih dengan alunan
ombak kecil dan sepoian angin melambai membuat jiwa terbuai. “Itu petugas yang
jaga, banyak yang masih perlu dibenahi,” terang Pak Marzuki setelah saya
menanyakan sebuah bangunan putih menyelinap dibalik pepohonan. Lagi-lagi pulau
ini berhasil menarik hati saya. Beberapa spot snorkeling kami telusuri sampai
jarum jam menunjukkan pukul enam sore. Petang menyambut, malam menyilakan.
Aktivitas di malam hari sama
dengan kebanyakan kunjungan ke pulau-pulau lainnya. Bergelut lidah dengan Ikan
bakar di pinggir pantai. Saya tidak melihat aktivitas yang sama di sekitar pun
ketika snorkeling. Hanya kapal kami yang berlabuh untuk menikmati bawah laut
dan malam ini hanya kipasan ikan bakar rombongan kami berenam yang mendayu-dayu
di pinggir pantai. Benar firasat, pulau ini belum terlalu terekspos. Hanya baru
banyak dikenal oleh kalangan pemancing saja.
Dermaga keberangkatan kapal menuju spot snorkling |
Keesokan hari, jam 10 pagi
kapal sudah harus meninggalkan dermaga. Diwaktu yang tersisa, setelah sholat
subuh kami berburu oleh-oleh kepulangan. Berburu berbagai macam ikan di Dermaga
Timur Pulau Lancang Besar. Untuk menyusuri pulau ini, satu-satunya hanya dengan
moda transportasi jalan kaki, karena belum adanya penyewaan sepeda (seperti
pulau-pulau lainnya).
Dermaga Timur tampak sesak dengan
hiruk-pikuk hitugan timbangan ikan, udang, cumi, yang baru diturunkan nelayan dari kapal.
Berbagai jenis ikan segar akan menyapa selamat pagi pada setiap mata yang
menjumpainya. Aku hanya mengabadikan beberapa jepretan, selanjutnya mengikuti
arus dua orang guru yang berjibaku memburu cumi segar yang baru turun dari
timbangan. Aku tidak ingin terlibat dalam tawar-menawar itu cukup menjadi
penonton setia yang sesekali digoda juragan-juragan ikan untuk dimintai diambil
potonya.
Rutinitas pagi di Dermaga Pulau Lancang Timur |
Masih ada satu hal lagi yang masih membuat
saya penasaran, di mana Jembatan Pelanginya? Di menit-menit terakhir yang
tersisa setelah sarapan nasi uduk mengenyangkan perut, kami menyempatkan
menyambangi spot terakhir, Mangrove. Jembatan Pelangi yang tersebut di dunia
maya itu masih seperti itu, masih belom kokoh, masih belum melengkapi namanya
yang terletak di sebelah kiri Dermaga Timur. Beranjak dari lokasi ini Pak Mar membawa
kami ke kumpulan deretan Hutan Bakau lebih ke timur, melewati tower tinggi dan
lapangan sepak bola menghijau dikelilingi pepohonan. Ini adalah tempat
persinggahan terakhir di Pulau Lancang.
Kawasan
Hutan Bakau Lancang |
Namanya memang tidak seperti pesona yang
ditawarkannya. Keunggulannya sangat tampak pada pertemuan pertama. Penyebrangan
yang tidak sampai hitungan satu jam, tatanan pulau yang apik, rapi dan bersih,
suasana yang nyaman dan tidak se crowded
pulau-pulau lain. Sangat cocok mencari ketenangan di sini. Penduduk lokal yang
ramah, ekosistem underwater yang tidak kalah menggoda dan tentunya menu khas
olahan laut yang menggoyang lidah. Tentunya keunggulan-keunggulan itu patut
diperkenalkan lebih dekat lagi kepada para pecinta keindahan, ketenangan dan
masyarakat luas. Potensi wisata Pulau Lancang yang perlu digebrak agar lancang
memikat setiap mata untuk dikenalkan lebih luas lagi.
Pulau Lancang, 13-14
Februari 2016
Pagi hari di Dermaga Timur Pulau Lancang Besar – Terima kasih Tuhan |
0 Comments