Gara-Gara Go-Jek
Oktober 06, 2015Helm jepretan pribadi |
Siapa sih di era sekarang ini yang tidak
mengenal Go-Jek? Berbagai kalangan terutama manusia-manusia sosialita kekinian
dapat dipastikan setidaknya pernah mendengar kata Go-Jek. Apalagi, kaum hawa
mandiri sana-sini pasti acap kali sudah duduk manis di belakang kemudi si abang
(panggilan akrab pengemudi ojek kebanyakan) berjacket dan berhelem imut dengan
warna green jreng yang menarik kagum mata memandang. Suka-duka pun pasti sudah
banyak dilalui bersama dengannya. Main kucing-kucingan dengan ojek setempat,
tebak-tebakan nama di depan banyak orang, telpon-telponan untuk memastikan
janjian penjemputan atau bahkan curhat-curhatan sepanjang perjalanan. Itulah
mungkin sekelumit kisah-kasih bersama si Abang Go-jek sepanjang sejarah
Gojekers tertorehkan. Tentunya fenomena ini juga dialami oleh kaum pejantan
pengguna setia Go-jek, namun dalam versi lain.
Karena rata-rata drivers Go-Jek yang sudah
harau melintang saya tumpangi adalah kalangan bapak “kelas 3 ke atas”, jadilah
percakapan yang sering terulang adalah berbagi kisah hidup sebelum dan sesudah
bergabung dengan trasnportasi murah meriah, aman dan sejahtera ini. Tapi beda
dengan sore hari ini.
“Mbak, jalan sedikit ya ke belakang, saya
depan polsek. Ga enak di situ ada ojek.” Teriak si driver di ujung telpon sana,
berusaha mengalahkan padatnya lalu-lintas disekitar.
“Lurus terus aja Pak, saya tunggu di bawah
jembatan, jilbab ungu.”
“Maap ya bu, saya ga pake atribut (helm
dan jacket identitas Go-Jek) karena sedang dicuci,” ucapnya sembari menyodorkan
helm hijau.
Seharian ini aku sudah hitungan tiga kali
menggunakan Go-Jek dan semua driver berkata demikian. Entahlah, apa karena
takut di amuk si lawan makanya bersembunyi dibalik kedok atau memang mereka
kompak menyuci semua atribut di saat weekend seperti ini. Tapi, tidak jarang
memang, sang driver yang mengaku “lebih aman” berpenampilan seperti ini, meski
diawal mereka terlebih dahulu selalu minta maaf. Bagiku, aku maklum. Toh demi
keselamatan mereka juga, karena banyak di luar sana beberapa pangkalan yang
masih tidak terima dengan kehadiran mereka. Atau terkadang, ada beberapa
drivers yang pintar memadupadankannya, dengan melapisi jacket hijau khas itu
dengan rompi hitam pada bagian luar.
Biasalahnya, di awal perjalanan
bincang-bincang itu pun selalu menjadi andalan tanya-jawab penumpang-pengemudi.
Tak terkecuali di siang terik ini, bahkan driver ini dengan logat jawa
mendoknya akhirnya bercerita panjang lebar kepada saya. Mungkin saya adalah
orang yang kesekian kalinya hari ini yang dia jadikan tempat curcol (curhat
colongan). Saya sering menebak-nebak, apakah ini memang prosedur dari
Management Go-jek sendiri untuk mengajak penumpang dapat berbaur dalam cerita,
atau memang hanya keakraban yang dijalin oleh sang driver tertentu.
“Saya kalau ndak kejar setoran ndak
bakalan gabung Gojek mbak,” Pak Priono memulai kisahnya.
“Jadi malam jaga, siang ngegojek?”
“Lho, kok mbak tahu?”
“Lha wong di jacketnya ada tulisan
security nama bapak.”
Benar dugaan saya. Driver Gojek yang satu
ini menjadikan layanan berbasis smartphone canggih ini sebagai lahan dan pundi
kehidupan lain bagi dirinya.
“Saya mau nikah. Tapi kata Bapak saya
harus punya rumah dulu. Alhamdulillah bentar lagi. Gara-gara Gojek itu mbak.”
Aku makin penasaran ending kalimat yang
dia utarakan. Ini bukan pertama kalinya driver yang kutumpangi melontarkan kata
berkat untuk layanan perantara rejeki ini. Salah satunya Pak Priono ini. Gojek
menjadi jembatan baginya untuk menyambung nasib. Gaji satpam saja katanya tidak
dapat mencukupi impian itu. Masa harus tunggu tua dulu baru dia berumah tangga.
Gegara Gojek lah kini perlahan impiannya untuk meminang seorang gadis di
kampung halaman akan segera terwujud. Di satu sisi aku sangat salut dengan
usahanya, dan di sisi lain dia tetap memegang teguh nasihat orang tuanya. Berkat
Gojek kehidupan manusia yang satu ini, akan segera berakhir di pelaminan.
Lain Gojek, lain kesempatan dan lain lagi
cerita yang aku dapatkan. Sebut saja namanya Pak Mulyo. Driver Gojek yang
mengantarkan ku pulang ke BSD dari Ciledug ini juga tak kalah antusias berbagi
cerita. Mengabdi puluhan tahun sebagai seorang sopir sebenarnya sudah membuat
tubuh tuanya jenuh. Tapi apalah daya, anak – istri di rumah minta makan. Tidak
kerja=tidak hidup. Mendengar informasi Gojek dari para teman-teman dan disuruh
untuk bergabung oleh anak sulungnya, akhirnya dia pun mengangguk setuju. Selang
beberapa hari didaftarkan oleh putranya yang baru menginjak bangku kuliah, dia
pun dipanggil oleh managemen Gojek.
“Seneng waktu itu dipanggil. Anak saya
yang anter dan ngajerin. Saya kan gaptek, ga ngerti gitu-gituan.”
Selang beberapa hari hilir-mudik dengan
roda duanya, dia pun memberanikan diri mengajukan pengunduran diri pada majikan
yang sudah menghidupi keluarganya puluhan tahun.
“Berat banget waktu berhenti. Tapi ya
gemana, udah capek mbak di belakang setir mulu. Otot banyak ga gerak,” keluhnya
dengan alasan yang kusetujui.
Kini, pak Mulyo sudah bisa menikmati hari
tuanya dengan kerja tanpa jam kerja. Mau mulai nguli jam berapa, istirahat jam
berapa, pulang jam berapa, libur hari apa kini sudah tak jadi beban lagi dalam
pikirannya. Asal anak saya bisa terus kuliah, begitulah alasan beliau untuk
beralih ke Gojek. Tak muluk-muluk, 10 penumpang dalam sehari-bahkan sebelum
terik matahari bersinar kejam terkadang sudah cukup baginya dan dia pun kembali
pulang untuk tidur siang dan mengistirahatkan badannya yang sudah tua. Bahkan
dia pun blak-blakan membeberkan pendapatannya yang jauh melebihi profesi rutin
yang sebelumnya dia lakoni.
Dua penggalan cerita di atas hanya
sepersekian kisah dari beberapa driver Gojek yang aku temui. Mungkin di luar
sana masih banyak Pak Prio dan Pak Mulyo lainnya yang juga sedang berjuang
memperbaiki nasib mereka dan menggantungkan harapan pada Gojek. Meski pro
kontra masih terus bergulir, tapi ratusan bahkan (mungkin) ribuan drivers Gojek
di luar sana terus berusaha memberikan pelayanan maksimal bagi para
penumpangnya. Ini bukan hanya sekadar tren-trenan yang sedang menjamur di
masyarakat Indonesia. Tapi ini, adalah sebuah fenomena yang berurusan dengan
masyarakat kelas bawah, meski tak memungkiri segelintir pemegang profesi atas
pun masih berusaha berkecimpung di dalamnya dengan berbagai alasan ; jam kerja
yang seenaknya, penghasilan tambahan dan tentunya pendapatan yang cukup
lumayan. Terlepas dari itu, banyak jiwa yang tertolong gara-gara Gojek. Berkat yang memberi
manfaat, mensejahterakan masyarakat dan tindakan tepat dalam gejolak krisis di
negeri ini. Semoga kedepan Gojek masih dan makin terus berkembang, bercabang ke
seantaro jagat. Lebih mempertimbangkan dan memilih lagi siapa “yang benar-benar
membutuhkan” dan lebih selektif terhadap “mereka” yang hanya menjadikan
kesempatan sampingan sementara yang mengatasnamakan uang. Profesi ini bukan
hanya sekadar uang semata tetapi tentang hidup yang diperankan banyak tokoh di
dalamnya demi sebuah penghidupan layak yang diharapkan.
Go … Go … Go … Gojek !!!
0 Comments