Baduy dan alam dalam kedamaian |
Terik
matahari mengonggong dengan dahsyatnya tanpa sedikitpun mau berbaik hati.
Kebulan debu jalanan pertambangan pasir kiri-kanan, beterbangan menerpa wajah
dan tak ayal akan menyelusup memasuki rongga jika tidak ditangkas dengan sebuah
kain (masker). Sesekali peluh keringat yang menetes mengalir dipelupuk mata aku
seka sembari lantang terus menatap kedepan.
“ Ini ni,
yang bikin jalan rusak.” Suara Pak Buyur melebihi batas volume biasanya. Dia
masih dengan sigap berada dibalik kemudi elf dan aku masih dengan seksama
memperhatikan kelihaian beliau memboyong 14 orang anak manusia ini.
Yang tersisa
hanyalah suara mesin mobil merengek yang berusaha melalui jalanan off road
tersebut. Dua belas penumpang dibelakang aku rasa sudah mulai terbuai dan
terlena akan dunia mimpi. Sedangkan aku masih belum bisa memejamkan mata
sedikitpun diawal perjalanan ini. Jalanan yang dahulunya tidak seperti ini
akhirnya mengalami masa pahit setelah sering dilalui oleh truck-truck besar
pertambangan. Itu semua berubah tak kala sebuah perusahaan yang dikelola oleh
orang asing menjamah negeri ini demi mengeruk kekayaannya. Pertambangan pasir
yang sebahagian menjadi mata pencaharian masyarakat sekitar sebagai penambang
dengan bos besar seorang warga dengan berkebangsaan “luar”. Na’as memang, penduduk
asli yang hanya menjadi bawahan di negri sendiri. Tapi itu tidak di Rangkas ini
saja, tetapi masih banyak sudut-sudut negri ini yang masih tetap “dijajah” oleh
bangsa asing sedangkan kita hanya bisa terus “menengadah tangan” tanpa pernah
dapat menikmati hasil bumi pertiwi ini sepenuhnya.
Cerita
singkat diatas menjadi asupan ilmuku disiang ini menjelang desa Ciboleger. Sebuah
desa yang akan menyambut tapakan kaki ku bersama dengan teman-teman menuju
sebuah suku disalah satu pedalaman Banten. Elf dengan slogan Densus 88 ini terus
memacu kecepatan melewati berbagai rintangan selama perjalanan demi target
waktu 1.5 jam Rangkas-Ciboleger. Jalanan rusak, tanjakan, tikungan, turunan
dibawakan dengan elok oleh sang tuan kemudi, maklum saja rute ini adalah makanan
sehari-hari beliau membawa penumpang menuju Ciboleger. Hanya saja di akhir
pekan seperti sabtu ini 1 November 2014, beliau sering kebagian rejeki untuk
mengantarkan para pecinta budaya yang ingin mengenal lebih dekat sebuah suku
etnis sunda, di Kabupatan Lebak – Banten, yaitu suku Baduy.
Elf tangguh Rangkas-Ciboleger |
Bermukim
tepat diarea perbukitan, terutama di kaki pegunungan Kendeng desa Kanekes
dengan topografi akses turun-naik bukit tidak membuat suku Baduy meninggalkan
tanah kelahiran mereka. Mempertahankan adat-istiadat leluhur dan tetap menjaga
aturan yang berlaku turun-temurun, membuat warga suku Baduy mendapat berbagai
decak kagum dari setiap insan, termasuk saya yang sudah sangat lama
berkeinginan lebih dekat mengenal peradaban mereka. Suku yang terpecah menjadi
dua bagian ini (Baduy Dalam dan Baduy Luar) masing-masing memiliki tata
kehidupan tersendiri dan hidup berdampingan satu-sama lain.
Baduy Luar dengan kesehariannya
|
Aku memulai ekpedisi
Baduy ini dari domisili asal BSD-Tangerang Selatan pada pukul 05.30, tentunya
terlebih dahulu menuju St. Serpong untuk kemudian melanjutkan dengan Commuter Line (CL) ke meeting point di St. Tanah Abang. Kereta
Rangkas Jaya dengan harga tiket Rp 26.000,- PP siap mengantarkanku dengan 12
orang teman lainnya yang berasal dari berbagai daerah disekitar Ibu Kota
(Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Bandung) ditambah 3 orang yang berasal dari
tanah Sumatra (Palembang dan Lampung). Kami semua kebanyakan baru saling
bertatap muka satu-sama lain di St. Tanah Abang, maklumlah perjalanan ini
adalah buah karya sharing cost dengan
berbagai teman-teman sesama pecinta alam semesta.
05.30 Start dari BSD (kediaman)
06.00 St. Serpong menuju St. Tanah Abang
07.00 St. Tanah Abang
08.05 St. Tanah Abang – St. Rangkas Jaya
09.45 St. Rangkas Jaya
10.00 Rangkas – Ciboleger by elf dengan ongkos
25.000 one way
11.30 Seorang bapak mengenakan topi kesawah dengan
cangkul ditangan kanan, golok terselip dipinggang sebelah kiri, seorang ibu dan
2 orang anak kecil mempersilakan kedatangan kami di Ciboleger. Empat patung
yang berdiri tegap di terminal sekaligus pasar Ciboleger itu menyambut
kedatangan setiap elf yang merapat dipemberhentian terakhir mereka. Inilah
Ciboleger, garis awal menuju treking ke Baduy Dalam.
Empat patung berdiri tegap menyambut kedatangan |
Dari jadwal
yang sudah direncanakan, aku dan teman-teman mempunyai waktu 1 jam 30 menit
untuk menambah stamina perut (makan siang), sholat serta membeli logistic yang
akan dibawa ke Baduy Dalam serta pos terakhir yang terdapat sebuah minimarket ber-plat merah untuk melengkapi
perbekalan sebelum treking sesungguhnya dimulai.
Untuk urusan
perut, kami memilih sebuah warung makan sederhana disebelah minimarket yang
menyediakan berbagai pelengkap perut, mulai dari soto sampai hidangan telur
ceplok. Setelahnya uang 20.000 rupiah
keluar dari kocek masing-masing untuk patungan membeli berbagai keperluan dapur
selama kami menginap di Baduy Dalam. Pilihan menu makan tentunya jatuh kepada
ikan asin, sambel, mie instans dan lain sebagainya untuk persiapan makan malam
dan sarapan besok pagi di Baduy Dalam.
-----
SELAMAT
DATANG DI BADUY
Tulisan
kapital itu menyambut gagah di pinggir sebuah mushola. Eitss,, yang dimaksud
Baduy disini adalah Baduy Luar sedangkan tujuan utama massiiiiiiih jauh
perjalanan ke dalam.
Baduy Luar memiliki
sisi yang sudah sedikit berbeda dari Dalam . Perbedaaan itu terletak dari pola
hidup yang mereka gunakan sudah tersentuh oleh kehidupan modern seperti memakai
gadget, berpakaian seperti kebanyakan orang dan segi bangunan rumah yang sudah
memakai unsur modern seperti pahat, gergaji, paku dll. Tetapi dibalik itu semua
masih ada aturan-aturan yang terus mendarah daging mereka pegang, seperti tidak
mengenal yang namanya dunia pendidikan dan model rumah panggung yang menjadi
ciri khas bagi warga suku Baduy.
-----
Hitungan
menit lagi menuju pukul 1 siang. Breafing
sebelum perjalanan naik-turun bukit kami lakukan di rumah Akang Lambry, design
rumah Baduy Luar tampak kental dikediaman salah seorang putra Baduy Luar ini.
Awalnya Akang Lambry sendiri yang akan mengatarkan aku dan teman-teman sampai
Baduy Dalam, tetapi ternyata rencana berubah. Dia digantikan oleh adiknya Ako,
yang menurut juri teman-teman cewek, lebih ganteng dan mirip artis korea ... heee
hee (tentunya aku setuju dg perbandingan itu) :D :D
13.00 Bismillah
...
Baduy Dalam
.... aku datang ....
Perjalanan
awal kami dikawal oleh Ako, Bapak Nanik (warga Baduy Dalam) dan beberapa
pengiring orang Baduy Dalam yang akan kembali kerumah mereka setelah sebelumnya
dari Ciboleger untuk memperdagangkan hasil kebun/ladang mereka seperti pisang,
jagung dll. Yap ,, mata pencaharian
sebahagian penduduk Baduy Dalam adalah berladang. Karena masing-masing dari
kepala keluarga pasti memiliki sebidang ladang untuk berkebun dan sebuah
lumbung untuk menyimpan hasil kekayaan tanah makmur mereka. Kemudian untuk
menyambung hidup, hasil ladang tersebut akan mereka jual ke Ciboleger bahkan ke
kota-kota lainnya demi menambah pemasukan untuk biaya sehari-hari. Bahkan
Mamang Nanik sendiri pernah melakukan perjalanan selama 6 hari tanpa mengenakan
alas kaki dan tidak menggunakan kendaraan umum untuk menuju Ciwedey-Bandung
demi menawarkan madu-madu hutan alami dan asli dari Baduy Dalam.
Bersama di depan rumah Akang Lambry |
Rute yang aku
lalui bersama kawan-kawan siang ini adalah sebuah rute yang nantinya akan
disuguhi keindahan sebuah danau. Awal langkah semangat 45 masih menggebu-gebu
disetiap jiwa, tapi setelah itu perlahan-lahan berkurang menjadi 35, 25,
15 melihat begitu banyaknya tanjakan di
depan yang sudah menanti. Naik-turun bukit, setelah bukit 1 akan ada bukit 2
dan dibaliknya akan ada bukit-bukit berikutnya sampai tak terhitung sudah
berapa banyak bukit-bukit yang kami naik dan turuni. Sampai tibalah di sebuah
danau nan hijau.
“Ahaaa ....
kita sudah sampai Ranu Kumbolo” celetuk salah seorang teman.
Haaa haa ...
danau ini lumayan menjadi pengobat peluh kami semua disiang ini. Tapi tidak
berlama-lama, perjalanan segera dilanjutkan karena perjalanan masih panjang
bahkan setengah perjalananpun belum.
Sebuah danau pengobat peluh disiang ini |
Aku
memutuskan untuk mengambil garis start awal dibelakang Mamang Nanik. Sepanjang
perjalanan sebelum tenagaku benar-benar menyerah aku melakukan tanya jawab langsung
dengan beliau. Ingin mengetahui penuturan beliau tentang pahamnya dan ingin
mengenal lebih jauh hal-hal yang ingin aku ketahui tentang Baduy terutama Baduy
Dalam.
Baduy Dalam
terbagi menjadi 3 desa yaitu Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo. Masing-masing
desa tersebut memiliki ±500-600 orang penduduk dengan ±100 kepala keluarga
serta memiliki seorang Puun (kepala adat) yang sangat dihormati dan disegani. Kental
akan aturan adat, Baduy Dalam sangat menolak pengaruh dari “dunia luar”, no gadget, no camera dan no kimia serta no
bule. Pakaian merekapun identik dengan warna hitam-putih, yang membedakan
mereka dengan penduduk Baduy luar adalah topi/ikat kepala yang mereka pakai, telekung untuk Baduy Dalam dan lomar untuk Baduy Luar.
Tanjakan yang tiada henti |
Mamang Nanik
masih setia menjawab setiap pertanyaan yang aku ajukan kepada beliau, tapi
....... aku yang sudah hampir kalah. Jangankan untuk mengelurkan kata-kata,
mengatur nafaspun aku sudah mulai sedikit ngos-ngosan ditambah lagi terik
matahari tak jua kunjung pergi. Beberapa diantara kami sudah terpecah-pecah
menjadi beberapa bagian. Tenaga-tenaga yang masih tersisa terkadang aku atur
sedemikian rupa sembari sesekali beristirahat dibeberapa desa Baduy Luar yang
kami temui sepanjang perjalanan.
“ Ini perbatasan
Baduy Luar dan Baduy Dalam, jadi semua camera, HP tolong dimatikan ya!“ perintah
Mang Nanik kepala kami setelah beristrirahat beberapa menit sembari menunggu
teman-teman yang lain.
“ Masih jauh
Kang? “ tanya salah seorang teman.
“ Beberapa
kilo lagi. “ Jawaban singkat yang penuh
makna menurutku. Tapi setidaknya jawaban itu bukan PHP seperti jawaban para
teman-teman pendaki (menurutku), yang ketika ditanya , puncak masih jauh? atau
basecamp masih jauh? Mereka pasti akan menjawab “sebentar lagi kakak, puncak
sudah di depan” huuuuff,, sebentar yang
menjadi berkepanjangan. *peace
Aku masih
sering melap keringat yang mengalir dikening dan bajuku pun sudah basah kuyup
bermandikan peluh. Kami satu sama lain saling menyemangati dan mengejar target
3 jam sampai Baduy Dalam demi mengharap dapat berlama-lama menikmati Baduy
Dalam jika datang lebih awal.
Benar-benar
tidak hitung lagi, mendaki gunung lewat dilembah ,bukit menjulang indah didepan
mata.
Sepanjang
perjalanan Baduy Dalam kembali suguhan pemandangan indah dapat dinikmati oleh
mata. Hamparan perkebunan yang hanya bisa diabadikan oleh mata telanjang.
Setidaknya perjalanan panjang ini terbayar dengan panorama alam ciptaan Tuhan
menjelang Baduy Dalam.
Bersama salah seorang putra Baduy Dalam |
16.00 Finally … Tiga jam target terpenuhi.
Aku dan teman-teman berhasil memasuki kawasan Baduy Dalam.
Langkah kaki kami disambut oleh anak-anak
Baduy Dalam yang sedang memainkan alat musik
Angklung dengan merdunya. Alunan suara Angklung nan membius teliga dimainkan
dengan iringan nada yang pas. Beruntung, kami memasuki Baduy Dalam yang sedang
merayakan hari untuk bertanam. Begitulah pesta di Baduy Dalam. Setiap masa/peristiwa
seperti bertanam, panen, perkawinan bahkan kematian selalu ada saja iringan/perhelatan
yang mereka adakan.
Aku menatap sekeliling. Sejauh mata
memandang, tatapanku tertumpu pada tingginya pepohonan hijau yang mengelilingi kampung
Cibeo ini. Rumah-rumah panggung bambu beratapkan daun kiray (sagu) menjadi tambahan penikmat mata. Oh Tuhan ,,, ketenangan
baru saja menyelinap dihatiku.
-----
Istri Bapak Nanik menyambut kami semua
dirumahnya, mempersilakan masuk dan segera ambil alih untuk menyiapkan menu
untuk makan malam. Selepas mengistirahatkan badan sejenak, aku dan teman-teman
segera meluncur ke sungai untuk membasuh badan dan tentunya juga ingin
merasakan aliran sungai jernih tanpa mengandung bahan-bahan berbau sabun
lainnya. Beruntung aku mempersiapkan kain sarung dari rumah. Tanpa berlama-lama
aku sudah meracuni teman-teman yang lain untuk segera menceburkan badan
ke sungai pemandian umum.
Seperti sungai biasanya, lokasi ini terbuka
umum tanpa ada pembatas sama sekali. But
don’t worry lelaki-wanita beda sepemandian J .
-----
Mentari sudah berhasil dilalap oleh sang
malam. Kegelapan sudah masuk menutupi Baduy Dalam. Remang-remang cahaya
penerang tradisional khas baduy, ditambah cahaya lilin menjadi penghangat malam
pertama kami dalam lingkaran keluarga Bapak Nanik. Sesekali menjadi bertambah
terang dibantu headlamp/senter yang kami bawa. Dan tiba
saatnya …. Makan malam ….
Hidangan special nasi merah, ikan asin,
sambel, mie rebus + kerupuk Kemplang menjadi kunyahan dahsyat bagi
kami semua. Maklum saja, naik-turun bukit tadi pasti sudah banyak menguras
tenaga dan isi perut kami semua. Aku yakin, makan siang yang kami makan di
Ciboleger tadi siang sudah menjadi kering-kerontang didalam perut dan yang
tersisa rasa lapar yang menggerogoti jiwa.
Makan malam kami diselingi sembari canda-tawa
bersama Bapak Nanik dan keluarga. Rumah sederhana dengan dua dapur dan satu
ruang utama ini menjadi bertambah hangat akan tukar pikiran dan tanya-jawab
kembali bersama keluarga Bapak Nanik.
Dua bocah Baduy Dalam menemani perjalanan kami
|
Bapak Nanik berdiam dirumah ini bersama istri
dan tiga orang anaknya. Anak pertama beliau sudah bekeluarga, maka dari itu dirumah
ini terdapat dua dapur.
Bagi orang Baduy Dalam, jika ada anggota
keluarga yang sudah bekeluarga tetapi mereka belum memiliki rumah sendiri, maka
wajib hukumnya memiliki dapur sendiri dirumah yang sama. Itu menandakan satu
rumah, 2 keluarga, 2 dapur dan 2 lumbung.
Cengkrama kami semua malam ini masih terus
berlanjut. Narasumber Bapak Nanik dan Ako dengan sukarela menjawab setiap pertanyaan
yang meluncur dari para reporter kawakan ini. Istri dan anak Bapak Nanik tidak
ikut andil , karena menurutku mereka belum terlalu fasih berbahasa Indonesia.
Dialek Sunda-Bantennya masih kental dibandingkan penduduk Baduy Luar yang sudah
lancar menggunakan Bahasa Indonesia.
Satu pertanyaan jitupun keluar dari mulutku.
“Bagaimana kalau ada orang Baduy Dalam yang
memutuskan untuk keluar dari lingkup norma adat Baduy Dalam?
Misalnya memutuskan untuk menjadi orang Baduy Luar ataupun mengikuti dunia
modern diluar sana? “ Inilah hal yang menjadi tanda tanya besar dibenakku.
Mengingat orang Baduy Dalam juga sering mengadakan perjalanan ke kota-kota
besar dan tentunya melihat “gemerlap dunia luar”.
“ Itu tidak masalah. Semuanya nanti tinggal
dilaporkan pada Puun.” Jawab bapak Nanik.
Larangan atau peraturan yang dilanggar
tentunya akan ada konsekuensi yang
akan diterima. Hukum ini berlaku dimanapun tak terkecuali di Baduy Dalam yang
memegang prinsip kehidupan turun-temuran dari nenek-moyang mereka. Resiko yang
akan dihadapi untuk keputusan diatas adalah “mereka akan diusir dan sudah tidak
dianggap lagi sebagai warga Baduy Dalam.” Begitulah adat mengatur semua
pelanggaran yang telah berlaku. Namun bagi keluarga, mereka masih diakui
walaupun disekitar sudah tidak mengakui.
-----
Denting jam tangan menunjukkan pukul 20.00 .
Sayup perlahan tiada lagi pertanyaan-pertanyaan yang menjurus keluar dari
mulut. Sesekali gurauan sesama kami pun merambat, diselingi
dengan gombalan dan modus-modus yang mengalir mengecengi kawan-kawan yang lain. Perlahan suara yang tadinya riuh,
beranjak mulai
sepi. Kepala yang masih tegak tinggal hitungan jari dan sisanya sudah berlabuh
terlebih dahulu dibawah selimut malam masing-masing. Pun termasuk aku. Aku memilih
untuk mengolah mimpi lebih awal.
Selamat tidur
Baduy ......
-----
Minggu, 2 Desember 2014 // 04.30
Baduy Dalam tidak sedingin yang aku pikir. Pagi
inipun menguak diri-diri kami dengan sentuhan lembut. Aku memboyong teman-teman
yang lain untuk segera beranjak menuju sungai, mencuci muka dan mengambil air
wudhu. Dibawah cahaya-cahaya senter, kami merambah gelap pagi Baduy Dalam.
Sesekali juga berpapasan dengan tamu-tamu lain yang sedang berkunjung.
Pagi ini kami akan segera kembali ke
Ciboleger menempuh jalur Gajeboh. Kepulangan
akan kami mulai pukul 7 pagi setelah terlebih dahulu sarapan
terakhir dengan keluarga besar bapak Nanik.
-----
Setelah sarapan, packing ransel dan menit
yang tersisa aku sempatkan terlebih dahulu memutari Kampung Cibeo. Bertegur
sapa dengan warga lain, pun menebar senyum semangat dipagi ini. Apik memang,
kesetaraan sangat terasa disini. Model rumah yang sama, kekayaan alam yang
melimpah menjadikan pelajaran berharga bagiku tanpa mengenal kata perselisihan/saling
bangga-membanggakan.
Tongkat Baduy yang dibeli di Luar dengan
harga 2.500 rupiah sudah siap kembali mengantarkan kami semua menuju Ciboleger.
Pamitan dan pelukan hangatpun kami tinggalkan untuk ibu Nanik dan
keluarga. Semoga kesan baik dapat kami torehkan dirumah ini.
Perkampungan Baduy luar yang dilewati |
Jalur Gajeboh
adalah jalur yang cukup panjang dengan tantangan yang tidak kalah sadis dari
keberangkatan kemaren. Berangkat lebih pagi untuk mengantisipasi ketepatan
waktu sampai kembali di St. Rangkasbitung demi kereta Rangkas Jaya jam 14.35.
Keluar dari Desa Cibeo, kami mampir sekilas
terlebih dahulu ke Cikertawana. Sekadar melihat kehidupan
sekitar. Namun sayang, kampung ini sudah sepi penduduk. Info dari bapak Nanik,
warga Baduy Dalam Cikertawana sudah beranjak ke ladang dan
mereka jarang menerima tamu seperti Cibeo dikarenakan warga Cikertawana belum terlalu fasih berbahasa Indonesia.
Cikertawana yang tenang
seolah menyimpan berbagai gejolak jiwa dalam hati saya.
-----
Stamina aku dan teman-teman pagi ini masih membara.
Apalagi setelah ditambah dengan istirahat di ladang Pak Nanik sembari menikmati
kelapa muda yang langsung dipetik oleh si empunyanya. Sejenak tenggorokan
kembali termanjakan dengan kelapa muda yang menggugah selera.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Perbukitan
sudah siap menunggu kami didepan. Yang sangat aku ingat, ada satu bonus spektakuler yang
ditawarkan sebelum jembatan perbatasan Dalam dan Luar. Yaitu sebuah turunan
dengan kemiringan sekitar 70˚. Asoiii rasanya mendapat trek ini.
Jembatan pertama jalur Gajeboh Dalam-Luar
|
Kembali setelah memasuki kawasan Baduy Luar,
cameraku berontak untuk segera kembali berekspresi. Taraaa …
kembali kita jepret sana-sini …..
Melewati 2-3 jembatan, keluar masuk kampung
Baduy Luar, kembali aku dan rombongan terpecah menjadi beberapa bahagian. Sisa-sisa
tenaga masih aku paksakan untuk tidak menyerah. Tapi …… rasa down itu pun akhirnya kurasakan
ditanjakan terakhir yang tiada henti. Kakiku mulai lemas, dadaku tereasa sesak,
peluh terus bercucuran dan matahari seolah garang menertawaiku.
“Oh Tuhan ,,, aku hampir menyerah menghadapi
tanjakan “gila” ini. “
Track Baduy menurutku pribadi sungguh
menantang. Karena perjalanan sepenuhnya ditemani peluh keringat dan pancaran
matahari yang menyengat. Ini memang tampak seperti pendakian gunung, tapi yang
membedakan adalah weather condition. Baduy dengan terik panas dan cucuran keringat sedangkan gunung masih bisa
berdamai dengan hawa dingin.
Aktivitas keseharian suku Baduy Luar |
Kampung demi kampung yang dilewati |
Pelan-pelan
langkah kaki masih aku seret semaksimal mungkin. Berharap Ciboleger segera
menunggu di depan. Aku tidak tahu bagaimana dengan teman-teman lain yang
dibelakang . Semoga semangat mereka lebih bergelora dibanding aku.
Finally ,,,
11.45 moncong rumah Kang Lambry menunggu didepan mata. Ohh ... God ,, ± 5jam
tracking perjalanan pulang yang kami tempuh.
Waktu 45
menit yang tersisa dimanfaatkan untuk membeli kerajinan tangan, souvernir,
oleh-oleh Baduy. Gantungan kunci, scarft, kain tenun dan yang pastinya madu
alami Baduy menjadi santapan siang saya dan teman-teman di rumah Akang Lambry.
Anak lelaki kecil penjaja minuman yang ditemui di track Baduy Luar
|
12.30 Perjalanan kembali ke St. Rangkas Bitung
14.00 St. Rangkasbitung
14.35 St. Rangkasbitung – St. Tanah Abang
-----
Banyak
pelajaran yang dapat aku petik dan bawa pulang dari kehidupan tentram suku
Baduy, terutama Baduy Dalam. Hidup dengan “menutup diri” dari perkembangan
dunia, membuat mereka dapat berdamai selalu dengan alam. Memanfaatkan kekayaan
alam semaksimal mungkin dengan cara dan metode yang mereka miliki. Tidak hanya
itu. Toleransi antar sesama juga murni tercurah dari pribadi masing-masing
jiwa. Model bangunan rumah yang sama, mengajarkan akan arti sebuah kesetaran
tanpa mengenal perbedaan si kaya dan si miskin. Kerja keras yang gigih,
berladang, berkebun demi topangan hidup dan menyimpan kekayaan tersebut untuk
bekal hari nanti disebuah lumbung. Mempertahankan “kepercayaan” yang sudah
menjadi pegangan hidup turun-temurun.
Semua itu
memiliki hikmah tersendiri bagi aku pribadi. Untuk selalu mencoba berada
dipijakan yang benar dan berpegang teguh pada garis hidup yang selama ini aku
jalani.
Terima kasih
Baduy , akan pelajaran berharga yang telah engkau berikan.
Baduy, 1-2 November 2014
Model rumah setara suku Baduy |
Tambahan informasi untuk teman-teman yang akan ke Baduy :
Akang Lambry Guide Baduy Luar 085778000812
Pak Buyur Elf 085695173939