Setelah sarapan nasi uduk di komplek Jl.
Bangun harjo saya melanjutkan perjalan menuju Halte Bata Pemuda Trans Semarang
. Saya kembali memastikan arah kepada Ibu penjual nasi uduk setelah menyerahkan
uang Rp 5.000 rupiah dan tidak mengambil kembalian 500 peraknya untuk sarapan
pagi ini. “Ya mba, tinggal lurus saja dan di depan belok kanan, haltenya
sebelah kanan” Jelas seorang Bapak sembari meneguk teh hangatnya. Anggukan si
ibu mantap memastikan kembali. Setelah sedikit bercakap-cakap menjawab
pertanyaan dari mereka, saya pun pamit dan berterima kasih. “Hati – hati mba,
tas jangan lupa” nasehat si Ibu tersenyum kepada saya . Hhhmmm itulah indahnya
sebuah interaksi dalam perjalanan, sebuah ucapan dan do’a penyemangat saya
dipagi ini.
Suasana di pagi hari Jl. Bangun Harjo |
Masjid Kauman tertua di Kota Semarang, persis di depan penginapan |
Hotel Sahara, harga mulai 50rb/malam |
Tidak perlu menunggu terlalu lama atau bahkan
bermenit-menit lamanya, tidak perlu juga antrian berdesak-desakan antar sesama
penumpang. Itulah cerminan awal yang
dapat saya saksikan, memang Bus Trans Semarang tidak sebesar atau se kaliber Busway gandeng di Jakarta, tapi
tampak dari kebersihan dan pelayanan petugas yang ramah patutlah trasportasi
umum / massal ini dapat acungan jempol dari cara kinerjanya yang terbilang
masih baru. Dari segi hargapun, untuk penumpang umum Bus ini mematok harga Rp 3.500 untuk satu
kali perjalanan dan bedanya untuk pelajar dikenakan harga yang lebih murah
yaitu 2.000 rupiah. “Waktunya Semarang Setara” !!! pertama kali melihatnya saya
sempat tersenyum bangga dengan slogan bus tersebut. Semoga itu bukan hanya
sebuah tulisan belaka, tapi kelak tulisan itu akan hidup selalu untuk kota
Semarang.
Trans Semarang dengan system bayar di atas Bus |
Rute Trans Semarang, jepretan diambil di Halte Bata Pemuda |
Menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit
akhirnya jam 09.00 saya pun sampai di Halte terakhir sebelum Halte Sisemut
Ungaran. Alun-alun ungaran pagi ini tampak bersahabat dengan cuacanya yang
masih sejuk dan dingin. Tujuan saya kali ini adalah si Curug Lawe, sebuah air
terjun nan elok yang bersemayam dikaki Gunung Ungaran. Keindahannya nan menawan
membuat saya terpesona untuk menyaksikan secara langsung keramahannya. Seorang
teman asal purwokerto telah menanti saya di Halte Alun-Alun Ungaran,
kekagumannya akan Curug Lawe ini melebihi keingintahuan saya. Kenapa tidak ??
sebelumnya dia sudah menyaksikan secara langsung keindahan Curug Benowo, satu
curug yang lain yang juga berada di
Lereng Gunung Ungaran . Tanpa membuang-buang waktu kami pun segera mencari ojek
untuk mengantarkan kami menuju pos terakhir ke Curug Lawe. Karena akses
satu-satunya dari Alun-Alun Ungaran ke Pos terakhir adalah motor, kendaraan
umum atau angkot tidak tersedia untuk rute ke arah tersebut. Dengan negosiasi
singkat dan padat, akhirnya 20.000 kami sepakati dengan Pak Udin untuk
mengantar ke Pos terakhir sebelum jalur trekking .
Dari Halte Alun-Alun Ungaran
membutuhkan perjalan kurang lebih 20 menit untuk menuju Pos terakhir kendaraan
(motor / mobil) setelah itu jalur dengan bebatuan dan tanah merah akan menemani
perjalan selanjutnya menuju Curug Lawe. Perkebunan
cengkeh kiri dan kanan seolah menyambut kami dengan ucapan selamat datang . Jalanan
pendakian yang berliku tajam tampaknya hal mudah bagi Pak Udin, motornya dengan
gesit dan perkasa membonceng kami berdua dengan lihainya. “Disini banyak objek
wisata juga mbak, tidak hanya Curug Lawe dan Curug Benowo” Terang Pak Udin
dengan santainya diperjalanan. “Kampung seni, itu perkampungan yang banyak
dikunjungi oleh artis-artis. Iwan fals sering ke sini” Jawabnya setelah saya
menanyakan kembali objek apa saja. Ternyata Pak Udin adalah asli penduduk
lokal, beliau dengan antusiasnya bercerita sepanjang perjalanan mengenalkan kampungnya
kepada kami.
Track permulaan setelah POS terakhir |
Harus jeli melihat petunjuk arah |
Jalur yang sangat diwaspadai, bahkan untuk berpapasan pun akan sulit |
Melewati sebuah jembatan penghubung yang
terbuat dari kayu, saya dan teman memutuskan istirahat sejenak melepas lelah
sambil mengatur nafas kembali . Karena jalur trek selanjutnya akan lebih sulit
dan menantang. Tibalah kami pada akses
terakhir jalur irigasi, pendakian melewati arus sungai pun sudah dilalui dan sekarang tibalah kami pada trek pemisah
antara Curug Lawe dan Curug Benowo. Petunjuk arah itu tertempel di sebuah
batang pohon, yang menginstruksikan trackers,
jika ingin ke Curug Benowo ambil jalur kiri dan jika ke Curug Lawe lanjutkan
pendakian ke atas.
Jembatan untuk membantu irigasi perkebunan |
Kicauan burung, semilir dedaunan dan ranting
pohon membuat suasana perjalanan sedikit mencekam mengingat kalau kami berdua adalah
pendaki pertama pagi ini yang menuju Curug Lawe. Tangkapan mata mencari
rambu-rambu dan petunjuk arah saya layangkan dengan cermat, takud-takud kalau
salah arah, lain lagi urusannya . Apalagi kami berdua baru pertama kali
menginjakkan kaki ke Curug Lawe. Mendaki bukit, melewati lembah, sungai
mengalir indah kami jelajahi dengan sesekali berhenti, minum dan mengatur
nafas. Sempat di perjalanan kami bertemu dengan seorang ibu – bapak pemetik
kopi, untuk memastikan arah teman saya menanyakan kembali kepada mereka berdua.
Aliran Lawe yang jernih dan berwarna, sesekali diterpa cahaya matahari |
Tidak terasa perjalanan 1 jam pun sudah kami
tempuh, sayup terdengar panggilan si Curug Lawe menyambangi telinga. Seolah bak
seorang anak kecil yang dipanggil oleh Ibunya, langkah kaki makin kami
percepat, melewati sungai kembali dan tanjakan tinggi pun kami perangi. Yaaa, tidak
salah lagi, karena memang ternyata dia sudah menunggu kami di depan sana . Pelitanya
memanggil kami segera untuk mendekapnya . Hhmm perjuangan satu jam yang tidak sia-sia . 11.30 Pagi itu kami
berdua serasa menjadi pemilik si Cantik Lawe , berteriak, bersyukur dan
bercengkrama seolah dia juga senang atas kehadiran kami.
|
Si Curug Lawe nan menawan |
Curug lawe, begitu ia dinamakan . Menurut
info dari petugas di POS yang saya dapatkan, dinamakan Curug Lawe karena konon
jumlah air terjun yang ada, baik dari yang terbesar hingga yang terkecil berjumlah
25 buah yang dalam bahasa jawa disebut Selawe. Info lainnya menyebutkan karena
air terjun yang jatuh dari tebing curam itu terlihat bagai benang-benang putih,
yang dalam bahasa jawa disebut Lawe. Terlepas dari sejarah penamaannya, bagi
saya Curug Lawe adalah si Cantik yang menggoda di Gunung Ungaran .
Sekilas Curug Lawe mengingatkan saya dengan
Air Terjun Tiu Kelep-Lombok . Air terjun utama dan didampingi oleh air
terjun-air terjun kecil disampingnya. Dan untuk mencapai Tiu Kelep pun
dibutuhkan trekking, walaupun berbeda 30 menit dari Lawe. Keindahan Lawe yang
asri tampak membahana di pagi itu, deburan airnya yang jatuh, dingin dan alami
memperdaya kami. Jepretan pun tidak ketinggalan saya abadikan.
Serasa ingin berlama-lama bersamanya |
Menyusuri kawasan Curug lawe, membuat saya
sedikit prihatin . Sampah ada dimana-mana !!!! Dibawah air terjun sekalipun
sampal botol minuman, makanan, rokok dan sebagainya mengambang di atas air. Memang
dilokasi tidak ada papan yang bertuliskan dilarang membuang sampah / sampah wajib
di bawa turun kembali . Tapi setidaknya, mereka yang mengerti akan alam dengan
penuh kesadaran membawa sampah turun kembali. Sembari mendengarkan nyanyian
Lawe saya dan teman berinisiatif untuk mengumpulkan sampah tersebut , alhasil
lebih kurang 4 plastik ukuran sedang, sampah terkumpul dan oleh-oleh yang kami
bawa turun. Pihak pengelola yang sudah menulis peringatan pada tiket “Tidak
membuang sampah sembarangan & menjaga kelestarian alam” adalah langkah awal
yang baik demi kemakmuran alam. Tapi alangkah lebih bijaknya lagi jika dituliskan
pada objek wisata “Sampah harap di bawa turun kembali !!” .
1 jam bersama Lawe sudah kami lalui, bekal
minuman dan makanan kecil yang kami bawa dari bawah sudah habis . Akhirnya
perut pun mulai keroncongan minta diisi. Memang pada objek wisata tidak ada
yang menjual makanan atau minuman, jadi saran saya sebelum naik persiapkanlah
bekal dari bawah terlebih dahulu dan datanglah lebih pagi untuk bisa puas
menikmati keindahan Lawe . Akhirnya saya
dan teman memutuskan untuk segera pamit kepada si Cantik Lawe dan kembali turun
untuk melapor ke Pos. Jalan yang sama pun kembali kami tapaki dengan tentegan
sampah kiri dan kanan . Harapan kecil
pun terbesit di hati saya, sebuah perjalanan baru, pengalaman baru dan kawan
baru membuat saya berharap, kelak semoga Curug Lawe tetap terjaga dan bebas
dari sampah – sampah dan selalu bernyanyi dengan manisnya di Gunung Ungaran.
Semoga kelak, kau kan terus terjaga |
// Curug Lawe, Thursday, August 15th
2013 //